Cerpen Cinta Sejati dan Unsur Intrinsiknya

Seperti apa cerpen cinta sejati beserta unsur intrinsiknya tersebut, maka secara lengkapnya bisa teman-teman lihat seperti yang akan dipublikasikan berikut ini: A. Unsur Intrinsik Cerpen Cinta Sejati - Judul: Cinta Sejati - Sudut Pandang: Orang ketiga. Tidak sebagai pelaku. - Tema: Percintaan - Setting: Kantin Sekolah, Ruang Kelas, Rumah Sakit, dan Toko Buku - Alur/Plot: Maju (progresif) - Penokohan: 1. Suci: Ambisius, tidak percaya diri 2. Dinda: Sabar, setia kawan 3. Aisyah: Alim, baik 4. Yusuf: Sopan, pintar, alim - Penyelesaian: Bahagia (Happy ending) - Amanat Bahwa kita harus bersyukur dengan apa yang telah diberikan Tuhan dan senantiasa bersabar dalam menghadapi permasalahan, serta cinta yang sejati hanya pantas tercurahkan kepada Sang Maha Pencipta. B. Cerpen Cinta Sejati Harus! Titik! Nggak ada tapi-tapian lagi! Apapun yang terjadi dia harus bisa! Yap, apalagi kalo bukan harus langsing! Itu misi terpentingnya. Itu cita-citanya yang paling diimpikan siang malam, pagi sore, pokoknya segera. Darurat deh! Doo segitunya? Emang seh, cita-citanya nggak semulia orang lain malah kesannya malu-maluin, tapi Suci nggak peduli. Dia tetep keukeh pengen langsing mendadak, kalo bisa malah lebih instan daripada buat mie. Sebenernya kalo dipikir-pikir Suci tuh nggak gendut amat cuma agak kelebihan berat badan doang (ye, itu sih sama aja!) dalam rangka merencanakan strategi pelangsingan yang oke punya, maka disinilah Suci berada. Di depan kaca besar dalam kamarnya yang serba pinky. Tepatnya sudah satu jam lebih 34 menit plus 10 detik. Mungkin kalo kacanya bisa ngomong kayak di dongeng, doi bakalan misuh-misuh alias bete abis "Woiii, gue udah pegel nih diplototin mulu dari tadi! Berenti kenapa?" kurang lebih gitu kali. Sayang aja, kacanya nggak bisa protes. Dan Suci masih aja puter-puter mirip gasing. Ih! kurang kerjaan banget sih? Akhirnya Suci berhenti juga muter-muter dan coba-coba jilbab yang super ribet (baginya), kepalanya mulai pening, nyut-nyutan gara-gara kebanyakan muter. Untung belum oleng, tapi Suci masih belum selesai juga. Sekarang dipegangnya pipi yang lumayan gembil itu. Huh, apa tadi kata Dinda? Tembem? Masak sih? Tapi emang tembem, sampe matanya jadi keliatan lebih kecil ketutup dengan pipinya. Kebayang kan gimana betenya Suci? So, menimbang, memilih dan memutuskan (ceile, lagaknya kayak direktur aja) hari ini Suci menyatakan perang dengan segala makanan dan hal lain yang berkaitan erat dengan kegemukan termasuk sama coklat yang paling dia sukai. Motto Suci yang tadinya tiada hari tanpa ngemil, terpaksa harus disingkirkan. Tapi, apa sih sebenernya yang bikin Suci jadi mati-matian mau langsing gitu? Sebelumnya Suci oke-oke aja dengan bodynya yang lebih berisi dibanding cewek seangkatannya. Tapi itu dulu! Waktu Suci masih wajib peke seragam putih biru. Sering sih, dia diledek oleh teman sekelasnya. Tapi sejak beberapa bulan lalu, pas Suci udah jadi siswa SMA, mulai deh uring-uringan. Tadinya dikit tapi tambah lama tambah berat. Terus, mendadak jadi hal yang prinsipil. Kantin sekolah (jam istirahat) "Din, Din!" "Emangnya aku klakson?! Apaan sih! Gangguin kenikmatan orang lagi makan aja!" "Liat deh, liat deh! Itu tuh, mas Yusuf ketua rohis sekolah kita lagi sama anak kelas satu yang baru masuk." "Ada apa sama mereka?" "Mesra amat, seh!" "Yee...bolehnya cembokur." "Ih, siapa yang cembuu? Heran aja. N’tu anak biasanya kan dingin banget sama cewek" "Kulkas kali" "Eh, Din, Din" "Uh, Suci...kalo manggil nama aku sekali aja dong! Gak usah diulang-ulang, jadi kayak klakson kedaraan tau! Kenapa lagi?" "Apa cewek kelas satu itu nggak risih duduk berduaan sama cowok? Mana rapeet benget. Padahal dia kan?" "Pake jilbab?" "Iya. Harusnya dia malu dong sama jilbabnya! Masa’ akh…akh…apa namanya, Din?" "Akhwat." "Iya. Akhwat, masa’ kelakuannya gawat gitu. Mana di tempat umum lagi…apa dia gak malu, diliatin sama anak-anak lain?" "Tapi, Ci..." "Ih, mending lepas aja jilbabnya!" "Lho, kok?" "Buat apa pakai jilbab kalo kelakuannya gak Islami gitu?" "Tapi Annisa..." "Ah, siapapun namanya, ketika seorang wanita telah memutuskan berjilbab, seharusnya dia bisa menyesuaikan kelakuan dengan pakaian yang dikenakannya. Tapi anak kelas satu itu..." "Annisa?" "Iya, iya... Annisa, kamu sendiri sebagai akh... akh" "Akhwat." "Iya itu, apa kamu nggak risih melihat mereka dua-duaan gitu? Aku aja belum pake jilbab gak gitu-gitu amat kalo sama cowok..." "Ha ha ha... kamu pasti cemburu sama Annisa, kan?" "Idiih... siapa yang cemburu?!" "Gak cemburu tapi mukanya merah" "Masak sih, Din?" "Liat aja sendiri di kaca!" *** Ruang kelas XI IPA 4, 15 menit sebelum bel masuk berbunyi. "Din, Din!" "Suci...! Kali ini apa lagi? Cepetan kalo mau cerita, aku lagi sibuk ngerjain PR kimia!" "Masih soal mas Yusuf sama anak kelas satu itu." "Kenapa lagi mas Yusuf sama Annisa?" "Kemarin aku liat mereka jalan berdua di Sriwedari! Mereka bener-bener udah jadian, ya?" "Jadian?" "Iya, pacaran!" "Suci, mereka itu..." "Pacaran, kan? Uh, sebel banget deh ngliat mereka jalan berduaan" "Hayo! Kamu naksir kan sama ketua rohis sekolah kita itu?" "Naksir? Aku? Sama mas Yusuf?" "Iya, kalo gak naksir, kenapa harus sebel melihat mereka jalan berduaan?" "Oh, eh, i...i...tu" "Ngaku aja, deh! Naksir juga nggak apa-apa..." "Ngg.. anu... hehe... iya sih, Din" "Huh, ngomong gitu aja kok susah amat...Udah ah, lagi sibuk, nih.. masih banyak soal yang belum aku kerjakan." "Eh Din... terus gimana, dong? Gimana caranya supaya mas Yusuf suka sama aku?" "Lho! Bukannya selama ini mas Yusuf emang suka sama kamu?" "Masa sih, Din? Kamu tau dari mana?" "Yang aku liat begitu, Uci mas Yusuf itu suka ama kamu." "Yang bener, Din?" "Iya, suka... nyuekin kamu! Huahaha…hahaha" "Dindaaaaaaaaaaa!!!...!" *** Emang sih kalo mau dibandingin Suci sama Annisa itu jauh banget, Annisa itu cewek kalem, pintar, imut, n yang pasti nggak segendut Suci. Teras depan rumah Dinda, siang menjelang sore. "Gawat, Din! Gawat Din! Aku liat mas Yusuf boncengin Annisa pakai motor!" "Dimana letak gawatnya?" "Annisa duduknya rapeeeeet banget, pake meluk pinggangnya mas Yusuf segala!" "Biarin aja, biar gak jatoh kali. Diakan kecil anaknya, nggak kaya kamu!" "Emang kenapa sama aku?" "Tapi apa Din...?" "Jatoh juga sih!... kalo kamu yang bonceng, kamunya gede, mas Yusufnya kurus ya bakal..." "Bakal apa?" "Bakal... jungkir balik, alis ngejengkal... hihihi" "Iiih... Dinda" "Apa iya mas Yusuf milih cewek yang ramping?" "Iya kali" "Hemm... kalo gitu aku musti diet ketat nih!" "Whats? Suci diet?! Apa nggak salah denger!" *** Ini jamu apa comberan ya? Kok… baunya ngalahin got depan rumah? Suci gak abis pikir, begitu beratkah perjuangan yang harus dilaluinya demi pinggul yang seksi, perut yang rata dan ops, tentu aja, pipi yang nggak tembem kaya bakpao. Glek! Glek! Suci merem sempet megap-megap sebentar. Hihi... kayak ikan mas koki keabisan air. Perutnya seperti dikitik-kitik, kayak mau muntahin sesuatu. Jamu tadi, tapi Suci udah bertekad baja. Apapun yang terjadi, jamu itu harus ngendon di perutnya. Nggak boleh keluar lagi. Hhhh... Suci menderita sekali. Seandainya mas Yusuf tau betapa besar pengorbanannya demi bisa diboncengin ketua rohis itu, biar gak ngejengkal, kan kasihan juga mas Yusufnya. Ini sudah merk jamu yang ketujuh, yang dicobanya. Dan tak sedikitpun perubahan terjadi pada bodynya. Lemak pipinya tak berkurang meski hanya satu milimeter. Padahal ia sudah memasuki babak kesepuluh hari sejak ia menyatakan perang terhadap kegendutan. *** Jamu udah! Pil pelangsing udah! Teh hijau biar singset udah! Pake magnet di perut sampe sesak nafas udah! No coklat, no es krim, udah! Padahal itu makanan favoritnya lho. Berenang seminggu sekali (meski lebih banyak air kolam yang ketelen ketimbang berenang). Juga udah! Anti makan nasi udah! Puasa makan pas lewat dari jam enam sore, udah! Yang terakhir, seminggu belakangan ini, dia cuma makan apel doang. Beneran Cuma apel tok! Pagi, sarapan apel, siang, makan apel, malem, apel lagi. Muka Suci aja udah mirip apel, bulat kemerahan. Sampe-sampe kemarin, pas upacara, dia hampir pingsan. Nyaris! Matanya kunang-kunang. Yang keliatan cuma bintik-bintik putih yang rada mengkilat, terang, kedip-kedip. Buru-buru dia pegangan di bahunya Dinda, kalo nggak, pasti deh dia udah gedubrak di lantai.Yang ada di kepala Suci, Cuma bayangan apel, apel dan yap apel again! "Udah deh Suci jangan diterusin lagi" "Ah, aku masih kuat kok..." "Kamu udah gila? Nggak cukup tadi kamu mau pake acara pingsan segala?" "Itu kan nyaris, belum pingsan beneran!" "Oke! Gini aja, aku nggak mau ngurusin kamu lagi kalo besok kamu pingsan beneran!" "Yah, kamu segitunya ama aku, siapa lagi yang mau nolongin aku kalo bukan kamu, pliss!" "Salah kamu sendiri! Diet kok nggak kira-kira?" "Abis gimana dong! Aku harus langsing, ini mutlak! Ini menyangkut mati hidupnya aku!" "Suci...emang kalo kamu langsing, apa mas Yusuf pasti bakal mau jadi pacar kamu? Ini lagi, kamu jadi ikut-ikutan pake jilbab, mending kalo pake jilbabnya karena Allah ta’ala tapi ini malah melenceng, cuma demi merebut perhatian mas Yusuf dari Annisa!" "Namanya juga usaha!" "Usaha sih boleh, tapi apa usahamu, pengorbananmu setimpal harganya dengan seorang Yusuf?" Suci diam, iya juga sih! Kenapa mas Yusuf harus menjadi begitu penting baginya? Mengalahkan rasa perih yang musti dideritanya saat menahan lapar. Mengalahkan lelahnya setiap kali ia jogging, berenang, sit up. Mengalahkan nasib lambungnya yang jadi bahan percobaan segala merek obat pelangsing. Mengalahkan kepalanya yang nyut-nyutan karena seminggu ini ia bela-belain hanya memakan apel. Mengalahkan rasa gerahnya pake jilbab karena buat nyaingin penampilan Annisa cewek kelas satu itu. Beginikah susahnya? Padahal ia hanya ingin merasa disayangi, dicintai? Hanya itu. Tidak lebih. Tidak berhakkah ia untuk merasakan semua itu? *** "Kamu pengen dicintai, disayangi dengan keadaan kamu yang apa adanya ini kan?" Suci menggeleng, tak mengerti ke arah mana pembicaraan Dinda." "Kamu pengen, ada yang menyayangimu, nggak peduli kamu gembrot, jerawatan, kulit bersisik, rambut pecah-pecah, idung bulu keriting..." "Hei! Stop! Stop! Kok malah ngejekin aku?" "Ups, sory! Aku terlalu bernafsul..." "Emangnya ada?" "Oh, jelas! Bahkan lebih hebat dari siapapun dan apapun di dunia ini. Maha segalanya. Gak ada tandingannya deh!" "Kalo kamu misal suatu saat jadian sama mas Yusuf, pasti ada berantemnya. Pasti ada sedihnya, betenya, empetnya, marahnya, belum lagi kalo mas Yusuf misal suka sama cewek lain, wuih... kamu pasti sakit ati banget kan?" "Kok doa kamu jelek banget sih?" "Bukannya gitu. Ini kan fakta yang bakal kamu alamin kalo jadian sama dia… Nah kalo sama yang aku calonin tadi, kamu nggak bakal sakit ati. Never deh! Promise!" Dinda mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V. "Siapa sih?" "Allah...!" *** Kok semuanya serba putih? Dimana dia? Apa ini mimpi? Suci menatap nanar sekelilingnya. Ia mengangkat tangan kanannya hendak mencubit pipi, biar ia segera tahu ini mimpi atau bukan. Tapi, waa... kok ada selang infus di tangannya? Buat apa? Memangnya dia sakit? Kapan? Kok dia nggak ngeh? Diliriknya Dinda yang menelungkup di pinggir tempat tidur. Kayaknya sih tidur, kalo gitu, beneran dong ini rumah sakit! Pengen ngebangunin Dinda, mau nanya kenapa ia bisa ada di sini tapi kok ya... nggak tega. Liat aja muka Dinda, meski cuma separo pipinya yang keliatan, tapi jelas ada lingkaran hitam di sekeliling matanya. Pasti kurang tidur, ngapain dia begadang? Ye, tulalit amat! Begadang nungguin dia lah, siapa lagi? Suci berusaha mengingat hal terakhir yang dilakukannya. Mmm... apaan ya? Kayaknya di sekolahan deh! Trus... apa ya? Suci berusaha keras mengingatnya. Kepalanya jadi cenut-cenut. Tapi Suci nggak berenti mikir. Ah, ya! Dia ingat sekarang! Waktu itu, perutnya perih banget, jalannya udah lemes, diseret-seret karena tenaganya udah drop. Dia telentang di Mushola SMA nungguin Dinda yang lagi sholat. Dia sendiri? Hihi... masih bolong-bolong sholatnya. Tergantung mood, meskipun dia udah berjilbab. Huss! Bukannya nyadar kok malah ngikik. Abis itu apa ya? Kayaknya sampe disitu deh! Seterusnya gelap, ya... gelap. Kepala Dinda bergerak, tangannya menggeliat, air mukanya terkejut, campur bahagia melihat Suci yang udah bangun. "Eh, kamu udah bangun ya?" "Aku bego ya, Din?" "Siapa yang bilang kayak gitu?" "Aku bener-bener idiot, kan?" "Ssshh... nggak bagus ngomong kayak gitu." "Aku bego... mau-maunya kayak gini cuma gara-gara..." Air mata Suci mulai merembes. "Kamu nggak bego cuma khilaf..." "Udah deh, Din! Nggak usah ngehibur aku! Aku tau, aku ini bener-bener stupid!" "Eh kamu tahu Annisa itu?" "Udah deh Din! Aku nggak mau nginget-nginget tentang itu!" "Mereka kakak beradik" "Hah...! Yang bener kamu?" "Ye, kamu nya sih kebiasaan, kalo orang ngomong itu dengerin dulu, jangan nyerocos terus!" "Jadi! Bukannya karena mas Yusuf suka sama cewek yang langsing & pake jilbab kaya Annisa itu?" "Wah, kalo itu mana aku tahu..." "Uh, udah dibela-belain diet ketat plus pake jilbab sampe kepala aku rasanya gatel banget, lagi..." "Terus, kamu mau lepas jilbab kamu?" "Yah, ehm... gimana ya" "Kamu nggak malu lepas jilbab? Jilbab itu bukan buat mainan tau!" "Aku gak lepas jilbabku." "Nah, gitu dong!" "Tapi... aku masih bisa kan ngecengin mas Yusuf?" "Suci, udah deh, aku gak mau nungguin kamu di rumah sakit lagi kalo kamu jatuh sakit lagi gara-gara pengen diet!" "Ya, ya... aku bakal berenti diet!" "Nah, itu baru Suci temanku" "Aww, sakit tau pipiku dicubit!" "Habis kamu ngegemesin sih!" Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja, otak Suci memutar ulang memorinya tentang ucapan Dinda waktu itu. Tentang ada yang bisa menyayanginya bagaimanapun buruknya rupa dia. Ada yang bisa menyayanginya tanpa ia harus berkorban menjadi langsing. Ada! Suci yakin sekali, dia memang selalu menyertai kita, memperhatikan kita, mengawasi kita, menyayangi kita lebih dari siapapun, dialah Allah swt. Hanya Allah-lah yang mengerti tentang diri kita. Dan hanya kepada Allah-lah kita patut mencurahkan cinta sejati. Demikianlah sebuah Cerpen Cinta Sejati dan Unsur Intrinsiknya yang bisa dipublikasikan kepada teman-teman melalui postingan ini. Semoga tulisan-tulisan tentang cerpen yang senantiasa dipublikasikan melalui blog ini, kiranya dapat menghibur teman-teman semuanya.

0 komentar:

Cerita Cinta Sedih-Janji Terakhir


Karya: Efih Sudini Afrilya


Pagi ini dia datang menemuiku, duduk di sampingku dan tersenyum menatapku. Aku benar-benar tak berdaya melihat tatapan itu, tatapan yang begitu hangat, penuh harap dan selalu membuatku bisa memaafkannya. Aku sadar, aku sangat mencintainya, aku tidak ingin kehilangan dia., meski dia sering menyakiti hatiku dan membuatku menangis. Tidak hanya itu, akupun kehilangan sahabatku, aku tidak peduli dengan perkataan orang lain tentang aku. Aku akan tetap memaafkan Elga, meskipun dia sering menghianati cintaku.


gambar cerita cinta sedih
“Aku gak tau harus bilang apa lagi, buat kesekian kalinya kamu selingkuh! Kamu udah ngancurin kepercayaan aku!”

Aku tidak sanggup menatap matanya lagi, air mataku jatuh begitu deras menghujani wajahku. Aku tak berdaya, begitu lemas dan Dia memelukku erat.

“Maafin aku Nilam, maafin aku! Aku janji gak akan nyakitin kamu lagi. Aku janji Nilam. Aku sayang kamu! Please, kamu jangan nangis lagi!”

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain memaafkannya, aku tidak ingin kehilangan Elga, aku sangat mencintainya.

Malam ini Elga menjemputku, kami akan kencan dan makan malam. Aku sengaja mengenakan gaun biru pemberian Elga dan berdandan secantik mungkin. Kutemui Elga di ruang tamu, Dia tersenyum, memandangiku dari atas hingga bawah.

“Nilam, kamu cantik banget malam ini.”

“Makasih. Kita jadi dinner kan?”

“Ya tentu, tapi Nilam, malam ini aku gak bawa mobil dan mobil kamu masih di bengkel, kamu gak keberatan kita naik Taksi?”

“Engga ko, ya udah kita panggil Taksi aja, ayo.”

Dengan penuh semangat aku menggandeng lengan Elga. Ini benar-benar menyenangkan, disepanjang perjalanan Elga menggenggam erat tanganku, aku bersandar dibahu Elga menikmati perjalanan kami dan melupakan semua kesalahan yang telah Elga perbuat padaku.

Kami berhenti disebuah Tenda di pinggir jalan. Aku sedikit ragu, apa Elga benar-benar mengajakku makan ditempat seperti ini. Aku tahu betul sifat Elga, dia tidak mungkin mau makan di warung kecil di pinggir jalan.

“Kenapa El? Mienya gak enak?”

“Enggak ko, mienya enak, Cuma panas aja. Kamu gak apa-apa kan makan ditempat kaya gini Nilam?”

“Enggak. Aku sering ko makan ditempat kaya gini. Mie ayamnya enak loch. Kamu kunyah pelan-pelan dan nikmati rasanya dalam-dalam.”

Aku yakin, Elga gak pernah makan ditempat kaya gini. Tapi sepertinya Elga mulai menikmati makanannya, dia bercerita panjang lebar tentang teman-temannya, keluarganya dan banyak hal.
Dua tahun bersama Elga bukan waktu yang singkat, dan tidak mudah untuk mempertahankan hubungan kami selama ini. Elga sering menghianati aku, bukan satu atau dua kali Elga berselingkuh, tapi dia tetap kembali padaku. Dan aku selalu memaafkannya, itu yang membuatku kehilangan sahabat-sahabatku. Mereka benar, aku wanita bodoh yang mau dipermainkan oleh Elga. Meskipun kini mereka menjauhiku, aku tetap menganggap mereka sahabatku.

Selesai makan Elga Nampak kebingungan, dia mencari-cari sesuatu dari saku celananya.

“Apa dompetku ketinggalan di Taksi?”

“Yakin di saku gak ada?”

“Gak ada. Gimana dong?”

“ya udah, pake uang aku aja. Setiap jalan selalu kamu yang traktir aku, sekarang giliran aku yang traktir kamu. Ok!”

“ok. Makasih ya sayang, maafin aku.”

Saat di kampus, aku bertemu dengan Alin dan Flora. Aku sangat merindukan kedua sahabatku itu, hampir empat bulan kami tidak bersama, hingga saat ini mereka tetap sahabat terbaikku. Saat berpapasan, Alin menarik tanganku.

“Nilam, kamu sakit? Ko pucet sich?”

Alin bicara padaku, ini seperti mimpi, Alin masih peduli padaku.

“Engga, Cuma capek aja ko Lin. Kalian apa kabar?”

“Jelas capek lah, punya pacar diselingkuhin terus! Lagian mau aja sich dimainin sama cowok playboy kaya Elga! Jangan-jangan Elga gak sayang sama kamu? Ups, keceplosan.”

“Stop Flo! Kasian Nilam! Kamu kenapa sich Flo bahas itu mulu? Nilam kan gak salah.”
“Udah dech Alin, kamu diem aja! Harusnya kamu ngaca Nilam! Kenapa kamu diselingkuhin terus!”

Flora bener, jangan-jangan Elga gak sayang sama aku, Elga gak cinta sama aku, itu yang buat Elga selalu menghianati aku. Selama ini aku gak pernah berfikir ke arah sana, mungkin karena aku terlalu mencintai Elga dan takut kehilangan Elga. Semalaman aku memikirkan hal itu, aku ragu terhadap perasaan Elga padaku. Jika benar Elga tidak mencintaiku, aku benar-benar tidak bisa memaafkannya lagi.

Meskipun tidak ada jadwal kuliah, aku tetap pergi ke kampus untuk mengerjakan tugas kelompok. Setelah larut malam dan kampus sudah hampir sepi aku pun pulang. Saat sampai ke tempat parkir, aku melihat Elga bersama seorang wanita. Aku tidak bisa melihat wajah wanita itu karena dia membelakangiku. Mungkin Elga menghianatiku lagi. Kali ini aku tidak bisa memaafkannya. Mereka masuk ke dalam mobil, aku bisa melihat wanitaitu, sangat jelas, dia sahabatku, Flora….

Sungguh, aku benar-benar tidak bisa memaafkan Elga. Akan ku pastikan, apa Elga akan jujur padaku atau dia akan membohongiku, ku ambil ponselku dan menghubungi Elga.

“Hallo, kamu bisa jemput aku sekarang El?”

“Maaf Nilam, aku gak bisa kalo sekarang. Aku lagi nganter kakak, kamu gak bawa mobil ya?”

“Emang kakak kamu mau kemana El?”

“Mau ke…, itu mau belanja. Sekarang kamu dimana?”

“El! Sejak kapan kamu mau nganter kakak kamu belanja? Sejak Flora jadi kakak kamu? Hah?!!”

“Nilam, kamu ngomong apa sayang? Kamu bilang sekarang lagi dimana?”

“Aku liat sendiri kamu pergi sama Flora El! Kamu gak usah bohongin aku! Kali ini aku gak bisa maafin kamu El! Kenapa kamu harus selingkuh sama Flora El? Aku benci kamu! Mulai sekarang aku gak mau liat kamu lagi! Kita Putus El!”

“Nilam, ini gak…….”

Kubuang ponselku, kulaju mobilku dengan kecepatan tertinggi, air mataku terus berjatuhan, hatiku sangat sakit, aku harus menerima kenyataan bahwa Elga tidak mencintaiku, dia berselingkuh dengan sahabatku.

Beberapa hari setelah kejadian itu aku tidak masuk kuliah, aku hanya bisa mengurung diri di kamar dan menangis. Beruntung Ibu dan Ayah mengerti perasaanku, mereka memberikan semangat padaku dan mendukung aku untuk melupakan Elga, meskipun aku tau itu tak mudah. Setiap hari Elga datang ke rumah dan meminta maaf, bahkan Elga sempat semalaman berada di depan gerbang rumahku, tapi aku tidak menemuinya. Aku berjanji tidak akan memafkan Elga, dan janjiku takan kuingkari, tidak seperti janji-janji Elga yang tidak akan menghianatiku yang selalu dia ingkari.

Hari ini kuputuskan untuk pergi kuliah, aku berharap tidak bertemu dengan Elga. Tapi seusai kuliah, tiba-tiba Elga ada dihadapanku.

“Maafin aku Nilam! Aku sama Flora gak ada hubungan apa-apa. Aku Cuma nanyain tentang kamu ke dia Nilam!

“Kita udah putus El! Jangan ganggu aku lagi! Sekarang kamu bebas! Kamu mau punya pacar Tujuh juga bukan urusan aku!”

“Tapi Nilam…..”

Aku berlari meninggalkan Elga, meskipun aku sangat mencintainya, aku harus bisa melupakannya. Elga terus mengejarku dan mengucapkan kata maaf. Tapi aku tak pedulikan dia, aku semakin cepat berlari dan menyebrangi jalan raya. Ketika sampai di seberang jalan, terdengar suara tabrakan, dan…………

“Elgaaaa…..”

Elga tertabrak mobil saat mengejarku, dia terpental sangat jauh. Mawar merah yang ia bawa berserakan bercampur dengan merahnya darah yang keluar dari kepala Elga.

“Elga, maafin aku!”

“Nilam. Ma-af ma-af a-ku jan-ji jan-ji ga sa-ki-tin ka-mu la-gi a-ku cin-ta ka-mu a-ku ma-u ni-kah sa-ma kam……”

“Elgaaaaaa……”

Elga meninggal saat itu juga, ini semua salahku, jika aku mau memaafkan Elga semua ini takan terjadi. Sekarang aku harus menerima kenyataan ini, kenyataan yang sangat pahit yang tidak aku inginkan, yang tidak mungkin bisa aku lupakan. Elga menghembuskan nafas terakhirnya dipelukanku, disaat terakhir dia berjanji takan menyakitiku lagi, disaat dia mengatakan mencintaiku dan ingin menikah denganku. Dia mengatakan semuanya disaat meregang nyawa ketika menahan sakit dari benturan keras, ketika darahnya mengalir begitu deras membasahi aspal jalanan.
Rasanya ingin sekali menemani Elga didalam tanah sana, menemaninya dalam kegelapan, kesunyian, kedinginan, aku tidak bisa berhenti menangis, menyesali perbuatanku, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.

Satu minggu setelah Elga meninggal, aku masih menangis, membayangkan semua kenangan indah bersama Elga yang tidak akan pernah terulang lagi. Senyuman Elga, tatapan Elga, takan pernah bisa kulupakan.

“Nilam sayang, ini ada titipan dari Ibunya Elga. Kamu jangan melamun terus dong! Kamu harus bangkit! Biar Elga tenang di alam sana. Ibu yakin kamu bisa!”

“Ini salah aku Bu. Aku butuh waktu.”

Kubuka bingkisan dari Ibu Elga, didalamnya ada kotak kecil berwarna merah, mawar merah yang telah layu dan amplop berwarna merah. Didalam kotak merah itu terdapat sepasang cincin. Aku pun menangis kembali dan membuka amplop itu.

Dear Nilam,
   
Nilam sayang, maafin aku, aku janji gak akan nyakitin kamu, aku sangat mencintai kamu, semua yang udah aku lakuin itu buat ngeyakinin kalo Cuma kamu yang terbaik buat aku, Cuma kamu yang aku cinta.
   
Aku harap, kamu mau nemenin aku sampai aku menutup mata, sampai aku menghembuskan nafas terakhirku. Dan cincin ini akan menjadi cincin pernikahan kita.
   
Aku sangat mencintaimu, aku tidak ingin berpisah denganmu Nilam.
   
Love You   
Elga

Air mataku mengalir semakin deras dari setiap sudutnya, kupakai cincin pemberian Elga, aku berlari menghampiri Ibu dan memeluknya.

“Bu, aku udah nikah sama Elga!”

“Nilam, kenapa sayang?”

“Ini!” Kutunjukan cincin pemberian Elga dijari manisku.

“Nilam, kamu butuh waktu nak. Kamu harus kuat!”

“Sekarang aku mau cerai sama Elga Bu!” kulepas cincin pemberian Elga dan memberikannya pada Ibu.

“Aku titip cincin pernikahanku dengan Elga Bu! Ibu harus menjaganya dengan baik!”
Ibu memeluku erat dan kami menangis bersama-sama.
*****

By : Efih Sudini Afrilya


0 komentar:

Cerpen cinta romantis - kisah cerita cinta

Cerpen cinta - Berikut ada sebuah cerpen cinta yang diambil dari blog tetangga. Mohon bacanya yang sabar yach,.. soalnya walaupun cerpen tapi saya lihat lumayan panjang juga... cekidoot... Cerpen cinta - Another love story Michelle sudah berdiri di balik meja kasir sebuah toko kaset di sebuah mall selama berjam-jam dengan seragam berwarna abu-abu dan topi hitam menunggu pelanggan yang akan membeli kaset. Dia sedang menulis sesuatu di buku jurnalnya ketika seorang cowok berjaket biru dengan garis merah dilengannya membawa sebuah kaset berjalan ke meja kecil didepan meja kasir. Dia dapat melihat dari sudut matanya cowok itu memasukkan kaset ke cd room dan menekan tombol play setelah kasetnya masuk ke kepemutar, lalu dengan sigap dia memasang earphone. Untuk sejenak cowok itu hanya berdiam diri sambil mendengarkan lagu ditelinganya. Michelle menggantung ujung penanya di jari sambil memikirkan hal apa saja yang menurutnya menarik untuk ditulis di jurnal pribadinya itu. tak sengaja dia memandang wajah cowok yang masih serius dengan musik ditelinganya. Wajah cowok itu terlihat seperti bercahaya. Hidung, mata, poni dan bibirnya terlihat sangat sempurna. Sempat terbesit dipikirannya betapa beruntung cowok itu memiliki wajah sempurna, dan jika dilihat sepertinya cowok itu juga mempunyai kehidupan yang sempurna. Dia tersadar dari lamunannya ketika tangan cowok itu bergerak membuka earphone ditelinganya, dia segera berpura-pura sibuk dengan jurnalnya. Dalam hati dia sangat malu karena hampir ketahuan sedang memperhatikan cowok itu. Cowok itu meletakkan kaset itu diatas meja kasir dan mengeluarkan uang dari dompetnya. Michelle segera berdiri dan menghitung harga kaset itu dengan lat pemindai barcode, dia memandang layar komputer dengan hati-hati. Dia masih merasa sedikit grogi. “Rp. 40.000..” ucapnya pelan, dia menghindari tatapan mata cowok itu. Cowok itu memberikan uang Rp. 50.000 pada Michelle. Dia merasakan keanehan sikap Michelle. Dia memandang bayangan wajahnya di kaca transparan yang menjadi dinding toko kaset itu, memastikan tak ada yang aneh pada wajahnya. Namun tak ada apapun yang membuat wajahnya terlihat janggal. Michelle segera membungkus kaset tadi dan memberikannya pada cowok itu bersama uang kembalian. “Ini, terima kasih sudah berkunjung ketoko kami dan silahkan kembali lagi..” ucapnya pelan. Sekilas dia memandang kedua bola mata cowok itu. bola matanya berwarna coklat muda, sangat mengagumkan. Cowok itu tersenyum, “Thank’s..” dia mengambil kaset dan uang kembaliannya, lalu segera melangkah keluar dari toko. Michelle sempat memandangi cowok itu untuk beberapa saat, lalu dia kembali memandang jurnalnya. Entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang akan terjadi yang berhubungan dengan cowok itu, tapi dia berusaha membuang pikiran itu jauh-jauh. “Jangan terlalu memperhatikan.. Nanti patah hati..” Goda Kevin, bos tempatnya bekerja sambil berlalu dengan senyuman khasnya. Michelle hanya tersenyum tipis sambil menundukkan wajah. Yap! Inilah hidupnya. Michelle Regina. Seorang gadis yang masih berusia 17 tahun yang sudah harus merasakan beratnya berjuang demi menyambung hidup. Pada usia 11 ibunya meninggal karena kanker. Wanita yang sangat tegar dan selalu menjadi inspirasi hidupnya. Tak lama kemudian dia merasakan betapa kejamnya ibu tiri, bahkan ayahnya sudah mulai tak memperdulikan dirinya. Ketika adik tirinya lahir, ayahnya bahkan tidak segan-segan menyakitinya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk melarikan diri ketika usianya masih 15 tahun. Oleh karena itu dia tak bisa melanjutkan sekolahnya. Dia berjuang sendiri dengan tangan dan kakinya untuk menyambung hidup. Michelle berjalan seorang diri diantara gelapnya malam. Jalanan belum terlalu sepi. Dia merapatkan jaketnya sambil memastikan sekeliling. Dingin terasa sangat menusuk kulit. Dia mempercepat langkahnya agar segera sampai ke kontrakan kecil yang dia sewa dengan harga paling murah. Kondisi rumah itu hanya memiliki dua ruangan kecil, bagian depan dia jadikan kamar dan dibelakang dapur. Meskipun begitu, dia bisa menyulap rumah itu menjadi rumah yang sangat nyaman. Dia tinggal di daerah kumuh dan lingkungan yang kurang baik. Selisih beberapa rumah dari kontrakannya ada tempat pelacuran yang selalu buka sampai pagi, bahkan dia pernah ditawari untuk bekerja disana. Michelle membaringkan tubuhnya diatas kasur. Memandang langit-langit kamarnya. Tiba-tiba dia teringat wajah cowok tadi, wajah yang seperti bercahaya yang telah menarik perhtiannya. Dia baru menyadari kalau dia adalah remaja. Tapi apa yang harus dia lakukan?? Berlaku seperti remaja lain yang menghabiskan uang di mall bersama teman-teman mereka, atau memiliki kekasih tampan yang selalu mereka pamerkan kemana-mana? Sudah pasti dia tak bisa melakukan itu semua. Hidupnya hanya bisa diisi oleh kerja keras untuk menyambung hidup. Rasanya dia tak berhak mendapatkan itu semua. Tapi.. bayangan cowok itu membuat hatinya bergetar. Apa yang terjadi? *** Malam ini Michelle pulang lebih awal karena bos tempatnya bekerja mempunyai acara yang tak bisa dia lewatkan. Biasanya dia baru pulang dari toko kaset sekitar pukul 10 atau 11, tapi sekarang baru pukul 8. Dia senang bisa mempunyai waktu senggang malam ini, jadi dia bisa mampir kesebuah pasar malam yang tak jauh dari rumahnya. Meskipun tak mempunyai teman, paling tidak dia bisa merasa terhibur berada di tengah-tengah keramaian sambil menyaksikan berbagai pertunjukan. Beberapa kali dia mengelap air mata yang mulai membasahi pipinya ketika mengingat almarhum ibunya sering mengajaknya ke pasar malam dulu. Matanya terpaku pada sebungkus gulali yang dijual oleh seorang pedagang. Dia menyukai gulali, tapi jika dia membeli gulali itu bisa saja membuka kenangan-kenangan tentang ibu yang sangat mencintainya. Suasana membahagiakan itu cukup menyiksa batinnya, jadi dia memutuskan untuk pulang. Dia menendang beberapa batu kecil yang tergeletak dijalan. Jalanan menuju rumahnya sangat sepi, membuat suasana hatinya semakin mellow. Tiba-tiba terdengar suara mobil yang direm secara paksa tak jauh dari tempatnya berjalan, dia melirik mobil itu dari sudut matanya. Tampak beberapa pria bertubuh besar keluar dari mobil sambil menyeret seorang pria muda yang memakai sweater berwarna abu-abu. Dia tak bisa melihat pria yang diseret itu dengan jelas. Dia hanya menunduk berpura-pura tak melihat apapun. Karena disekitar rumahnya bukan hal yang aneh jika terjadi tindak kriminal. “Aaaww!!” rintih Michelle ketika salah seorang pria besar itu menabraknya. Dia memegangi bahunya yang nyeri. Pria itu memandang Michelle dengan muka garangnya, “Jangan menutupi jalan!!” Michelle segera menyingkir dari jalan agar mereka bisa lewat. “Lepasin!!!” seru pria yang diseret itu. Michelle mengangkat wajahnya untuk melihat pria itu. Meskipun gelap, tapi dia bisa mengenali pria itu dengan gampang dari hidung dan matanya. Dia terkejut ketika menyadari yang sedang diseret itu adalah cowok yang tempo hari berbelanja di toko kasetnya. Cowok yang tak bisa berkutik karena dipegangi oleh dua orang bertubuh besar dikanan dan kirinya itu juga mengenali Michelle, dia berteriak meminta pertolongan. “Heii!! Loe yang di toko kaset itu kan?? Please! Tolong gue!!!” Michelle ingin sekali bisa menolong pria itu, tapi apa yang bisa dia lakukan. Dia ketakutan. Tiba-tiba seorang pria yang paling belakang menjambak rambutnya dengan kasar. “AAAwww!!!!” jeritnya. Pria bertubuh besar itu mencengkeram rambut Michelle dengan kuat, lalu berbisik ditelinga gadis itu. “Anggap loe ngga ngeliat apapun malam ini kalau loe masih mau hidup!! NGERTI LOE?!!” ancamnya. Michelle kesakitan. Tak tau apa yang harus dia perbuat, dia mengangguk perlahan. “I.. iya..” “Kalalu loe sampai ngelapor ke polisi, loe bakalan gue buat kayak cowok yang didepan itu!!!” pria itu menyentakan tanganya hingga tubuh Michelle yang kecil terhempas ke aspal. DUUG!!! Rasa pedih menjalar dikepala Michelle untuk beberapa saat, lalu menghilang. Secercah cahaya masuk kecelah matanya, ingatan-ingatan tak mengenakan itu kembali muncul. Senyum ibunya, kasih sayang yang selalu dia rasakan ketika itu. dan perlakuan tidak adil dari ayahnya. “Chel! Chel! Banguun!” Ucap sebuah suara lembut yang tak asing ditelinga Michelle. Michelle membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa sangat pusing, semuanya terasa berputar. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali untuk membiasakan matanya dengan cahaya terang. Setelah beberapa saat baru dia bisa melihat dengan jelas siapa yang memanggil namanya, Finda, seorang gadis yang tinggal tak jauh dari tempat tinggalnya. “Loe kenapa Chelle?? Kok bisa pingsan di jalanan gini??” Tanya Finda cemas. Setelah mendengar ucapan Finda, Michelle baru mengingat kejadian terakhir. Ternyata dia pingsan semalam. Dahinya terluka, darah kering masih terpapar jelas disana. Dia belum punya cukup tenaga untuk menceritkannya pada Finda. “Yaudah, loe bangun dulu.. gue anter kerumah ya.. Loe istirahat aja dulu..” Ucap Finda sambil membantu Michelle bangkit. Sesampai dirumah. Michelle segera berbaring ditempat tidurnya. Dia mengingat cowok yang telah merasuki pikirannya selama berhari-hari itu. bagaimana nasibnya sekarang. “Ohh.. jadi gitu. Hati-hati loe Chel, mereka pasti orang suruhan yang ditugasin untuk ngabisin tuh cowok. Mending jangan cari gara-gara dengan orang yang kayak gitu. Entar malah loe yang kena batunya.” Ucap Finda setelah mendengar cerita Michelle ketika dia baru selesai mengobati luka didahi gadis itu. “Tapi gue khawatir banget dengan cowok itu..” Ucap Michelle. Finda memandang Michelle tak mengerti, “Chell.. belum apa-apa aja loe udah kayak gini, gimana kalau loe sampe dibunuh sama mereka?? Emang loe kenal sama cowok itu??” Michelle menggeleng, “Ngga.. tapi dia pernah belanja di toko kaset tempat gue kerja.” “Udah deh, Chel.. Jangan cari masalah! Yaudah, gue balik dulu ya. Takut nyokap nyariin.. loe ngga apa-apa kan gue tinggal??” Tanya Finda. Michelle tersenyum tipis sambil mengengguk, “Iya, ngga apa-apa.. Thank’s ya..” Finda bangkit dan keluar dari rumah kontrakan Michelle. Walaupun Finda memintanya untuk tidak memikirkan tentang cowok itu, tapi pikirannya tak bisa berhenti membayangkan wajah panik cowok itu semalam. Dia merasa sangat bersalah karena tak bisa melakukan apapun. Dia bangkit perlahan dan duduk di pinggir kasur, membuat daftar kecil diotaknya tentang apa saja yang mungkin terjadi pada cowok itu. Benturan dikepala benar-benar membuatnya tak bisa berlama-lama menegakkan kepala selama beberapa hari. Hal itu membuatnya terpaksa mengambil cuti untuk sementara waktu dari tempat kerjanya. Dihari ketiga, dia sudah bisa beraktifitas seperti biasa meskipun pusing dikepalanya belum hilang seutuhnya. Tok! Tok! Tok! Terdengar ketukan dari luar. Reflek kepala Michelle langsung memandang kearah pintu. Dalam hati dia bertanya siapa yang datang, dia beridiri perlahan dan berjalan kepintu tanpa mengeluarkan suara. “Michelle.. ada yang mau ketemu kamu nih...” Ucap suara riang dari luar, Michelle tau itu adalah suara ibu pemilik kontrakan yang selalu ceria, Bu Darni. Langkah Michelle terhenti sejengkal sebelum mendekati pintu. Siapa yang mencarinya? Itu lah yang sedang bergulat dipikirannya. Dengan sangat hati-hati dia mengintip dijendela kamarnya. Betapa terkejutnya dia ketika melihat sosok pria bertubuh tinggi dan sedikit gemuk berdiri didepan pintu bersama Bu Darni. Dia segera mengbungkam mulutnya dengan tangan ketika teriakan kaget akan keluar dari mulutnya. Dia melangkah mundur sepelan mungkin menjauhi pintu. Pikirannya kacau. Dia tak tau harus melakukan apa. Kenangan-kenangan buruk di masa lalu kembali muncul dibenaknya. Masih ingat jelas dipikirannya bagaimana cara pria tinggi dan sedikit gemuk itu menghukumnya hanya karena dia tidak terlihat senang ketika adik tirinya lahir, dia nyaris mati karena ditenggelamkan di bathup. Tubuhnya bergetar, dia sangat panik! Dia benar-benar tak mau bertemu pria yang secara biologis itu adalah ayahnya. Jalan satu-satunya adalah kabur secepatnya. Dia segera menjangkau tas kecil yang tergantung di dekat kasurnya, lalu dengan cepat dia memasukkan baju secukupnya kedalamnya. Setelah mengambil dompet dia segera masuk kedapur untuk keluar dari pintu belakang sebelum Bu Darni berinisiatif masuk menggunakan kunci cadangan. Dia membuka pintu belakang perlahan, tak terlihat siapapun disana. Dengan cepat dia keluar dan menjauh dari rumahnya secepat mungkin. Dia sudah merasa cukup tersiksa selama ini bersma ayahnya, dan dia tak mau mengalaminya lagi. Tubuhnya masih bergetar ketika dia duduk di halte bus, walaupun dia tak berniat naik bus. Dia masih tak mengerti bagaimana ayahnya bisa mengetahui tempat tinggalnya dan kenapa setelah beberapa tahun dia pergi dari rumah pria itu malah mencarinya. Sekarang selain kenangan masa lalu yang menyesakkan dadanya, pertunya juga menyiksanya karena dia lupa sejak kemarin belum makan apa-apa. Dia segera mencari warung untuk mengisi perutnya sebelum pingsan karena kelaparan. Setelah perutnya terisi, pikirannya kembali jernih. Dia memikirkan langkah selanjutnya yang akan dia lakukan. Tidak mungkin untuk sementara waktu ini dia kembali kekontrakan. “Telah dilaporkan menghilang, seorang anak pengusaha ternama di Indonesia, William Kim, pada dua hari yang lalu...” ucap pembaca berita di sebuah tv kecil yang terdapat disudut warung itu. Spontan Michelle memandang ke layar tv. Matanya melotot melihat foto yang terpampang di layar tv. Itu adalah foto cowok yang semalam diseret oleh orang-orang itu sedang tertawa sambil memegang kamera. dan ciri-ciri yang disebutkan pun sama persis. “.. ketika menghilang dia mengenakan sweater abu-abu dan jeans berwarna hitam...” Michelle semakin panik. Ternyata cowok yang bernama William itu belum pulang sejak kejadian malam itu. apa yang terjadi?? Pikirannya kembali berkecamuk. Dia segera meninggalkan warung itu sebelum ada orang yang menyadari kepanikannya. Dia tak tau harus melakukan apa dan harus pergi kemana. jadi dia memutuskan untuk mengunjungi makam ibunya. Dia berjalan diantara makam-makam yang tak terawat. Begitu juga makam ibunya. Sudah bertahun-tahun dia tak berkunjung kemari. Dia membersihkan makam itu dengan tangan, sebersih yang dia bisa. Setelah itu dia duduk di pinggir makam ibunya, dia memandangi nisan ibunya yang sudah mulai memudar. Dalam hati dia menjerit dan menceritakan semua kesedihannya. Air mata pun ikut menemaninya dalam hening. Dia mulai terisak sambil menghapus air matanya. “Michelle ngga tau harus ngelakuin apa, Ma..” ucapnya lirih. “Bantu Michelle ma.. Michelle ngga bisa menghadapi ini sendiri.” Dia mulai terisak lagi, “Maafin Michelle karena ngga bisa jadi anak yang bisa ngebanggain mama.. Michelle takut..” dia tenggelam dalam tamgis beberapa saat, “Apa yang harus Michelle lakuin ma??” “Loe harus tolong gue..” Ucap sebuah suara di sisi lain makam ibu Michelle. Michelle memandang orang yang mempunyai suara itu, dan betapa terkejutnya dia melihat William duduk di hadapannya. Dia terlonjak kebelakang dan hampir terjerembab jika tangannya tidak dengan sigap menahan tubuhnya. Matanya melotot memandang cowok yang baru saja dia lihat berita hilangnya di TV. “L.. loe??!!!” William pun tampak terkejut, dia segera melihat tangan dan tubuhnya. Lalu kembali memandang Michelle, “Loe bisa ngeliat gue??” “Loe masih hidup??” Ucap Michelle terbata-bata. William berdiri dan hendak menghampiri michelle yang masih terlihat shock, “Loe bisa ngeliat gue?!” ulangnya. Michelle berdiri dan segera menjaga jarak dengan William, “Jangan mendekat!!!” serunya. Langkah William terhenti, dia memandang Michelle yang masih ketakutan dan bingung. “Gue tau loe pasti kaget ngeliat gue, tapi please! Loe harus nolongin gue!” pintanya. Nafas Michelle terasa sesak, “Loe masih hidup? Kenapa loe ngga pulang ketempat keluarga loe? Mereka semua nyariin loe..” “iiya, gur tau..” William melangkah mendekati Michelle. “Stop! Jangan deketin gue!!!” Michele segera mundur, tangan kanannya terulur kedepan isyarat menalarang William untuk maju. “Oke! Gue ngga akan ngedekatin loe!” Ucap William, “Gue Cuma mau minta pertolongan loe!” “pertolongan gue? Buat apa? Loe tinggal pulang aja kan kerumah loe, semua orang pasti ngga akan ribut.” Ucap Michelle. “Gue udah pulang kerumah gue! Gue udah pergi kekampus! Gue udah pergi kemana pun tempat dimana orang selalu mondar-mandir. Tapi ngga ada satu pun dari mereka yang ngeliat gue!! Dengar suara gue! Atau pun ngerasain sentuhan gue!!!!” Jelas William frustasi. Michelle terkejut mendengar ucapan William, “Apa?!” “Iya.. gue kaget banget loe bisa ngeliat dan denger suara gue tadi! Please! Gue mohon bantu gue! Udah dua hari keluarga gue khawatir nyariin gue! Tapi mereka ngga tau keberadaan gue! Please! Gue mohon...” suara William terdengar memelas. Michelle masih tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, “Jadi maksud loe, loe udah meninggal?” William menunduk, lalu mamandang Michelle lemah. Dia mengangguk pelan, “Gue rasa...” Michelle semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi, “Tunggu, berarti loe ini hantu?!” “Itu nggak penting! Gue butuh bantuan loe untuk nemuin badan gue! Please! Nyokap gue khawatir banget.. dia ngga bisa melakukan apapun kecuali nangis karena gue belum ditemuin..” Ucap William lagi. Michelle berusaha mencerna kejadian itu dengan pikiran jernih, tapi begitu banyak kejutan hari ini yang membuatnya panik. “Gue mohon! Cuma loe harapan gue.. walaupun nyokap gue ngga ngeliat gue pulang dengan selamat, tapi paling ngga dia bisa ngeliat badan gue. Dia ngga akan sedih mikirin gue yang menghilang...” ucap William meyakinkan Michelle. Michelle memandang William dengan wajah menyesal, “Sorry, gue ngga bisa ngebantuin loe. Loe datang sama orang yang salah...” dia memperbaiki sandangan tasnya, lalu berjalan pergi. “Heiii! Jangan pergi!” William mengikuti Michelle. “Please tolong gue! Cuma loe yang bisa ngebantuin gue!” Michelle terus berjalan tanpa menggubris ucapan-ucapan William, meskipun hatinya sangat menyesal. Sepanjang jalan cowok itu tak henti-hentinya memohon agar dia mau manolongnya. Tapi dia hanya diam. Dan ternyata memang tak ada satu orang pun yang mendengar ucapan William kecuali dirinya. “Please!! Andai loe jadi gue, apa loe bakal biarin nyokap loe sedih setiap hari karena mengira loe menghilang...” Ucap William dengan nada memelas. Michelle tergugah karena ucapan William barusan, dia berhenti melangkah dan memikirkannya. “Itu nyokap gue!” Ucap William sambil menunjuk layar tv yang terdapat pada sebuah warung dengan tatapan matanya. Michelle memandang layar tv. Tampak seorang ibu-ibu yang masih cantik terawat menangis didepan semua media yang meliput. “Saya tidak butuh apapun kecuali putra saya, Will!! Tolong kembalikan dia!!” ucap ibu William dengan linangan air matanya. Michelle terdiam, tak tau apa yang harus dia lakukan. Dia terkejut melihat William tiba-tiba berlutut dihadapannya. Dia melihat kanan kiri, tapi tak ada yang melihat apa yang sedang dilakukan cowok itu. “Heii..” ucapnya pelan, berharap tak ada yang mendengarnya. William berdiri dengan satu lututnya dihadapan Michelle, kepalanya tertunduk. “Gue mohon!” Hati Michelle luluh melihat keteguhan William. Dia teringat almarhum ibunya, dia juga pasti tak tega jika melihat ibu yang dicintainya menangis cemas seperti itu. William mengangkat wajahnya memandang Michelle, “Apa gue perlu nyium kaki loe??” Michelle menggeleng pelan, “Oke, gue bantu loe..” Wajah William langsung berseri, dia segera berdiri dan hampir memeluk Michelle. Tapi dia sadar kalau tubuhnya sudah tak sepadat dulu hingga bisa memeluk seseorang. Dia tak tau harus bagaimana mengungkapkan rasa terima kasihnya, “Makasih banget...” Michelle mengangguk sambil tersenyum tipis, dalam hati dia bertanya-tanya apakah dia bisa membantu William. “Hmm.. nama loe siapa?” Tanya William setelah cukup lama hening ketika dia dan Michelle duduk disebuah taman permainan anak-anak yang sudah lama tidak digunakan. Michelle yang duduk sambil memeluk lututnya dibawah sebuah jembatan gantung memandang William, “Michelle.. dan nama loe William kan?” William tersenyum tipis, dia tak terkejut Michelle mengetahui namanya. Karena sejak tadi pagi fotonya sudah tersebar dilayar tv, “Ya.. loe cukup panggil gue Will...” Michelle mengangguk, lalu keadaan hening lagi. Akhirnya Will, memulai pembicaraan yang serius. “Apa loe takut ada didekat gue?” Michelle memandang Will serius, “Tadinya iya..” “Sekarang?” Tanya Will sedikit penasaran. Michelle menggeleng, “Ngga lagi. Karena loe ngga kayak hantu yang ada dicerita fiksi. Loe ngga berdarah, ngga ketawa yang nyeremin..” dia tertawa kecil saat mengatakan itu. Will tersenyum, “Ya, gue emang ngga kayak gitu..” “Oh iya, malam itu. orang-orang itu bawa loe kemana?” Tanya Michelle. Will mencoba mengingat, “Yang jelas, tempatnya pengap. Disekeliling tempat itu ada air. sekitar 5 menit dari jalan tempat kita ketemu. Gue ngga bisa ngeliat jelas karena waktu itu gelap banget!” “loe diapain sama mereka?” Tanya Michelle hati-hati. Will menatap kedua mata Michelle, terlihat kepedihan dimatanya. “seinget gue, begitu samapai disana mereka langsung nutup mata gue pake kain. Dan gue diseret lagi ngga tau kemana. Gue udah berusaha untuk ngebuka penutup mata itu, tapi tangan gue ngga bisa digerakin. Dua orang megangin tangan gue kenceng banget! Ngga lama kemudian mereka mendorong gue dan gue jatoh. Setelah itu gue ngga tau apa-apa lagi. Waktu gue sadar, gue ada kamar gue. Tapi ngga ada seorang pun yang menyadari kehadiran gue.” Jelasnya. “Dan jatuh itu yang menyebabkan loe meninggal?” Tanya Michelle memperjelas. “Gue rasa..” Ucap Will. “Apa loe kenal siapa mereka?” Tanya Michelle lagi. “Sama sekali ngga. Tiba-tiba aja mereka muncul waktu gue sedang dalam perjalan pulang dari tempat kursus musik, mereka langsung nyeret gue masuk kemobil.” Jelas Will lagi. Michelle memikirkan semua informasi dari Will, mencoba menemukan petunjuk dari informasi-informasi itu. tiba-tiba dia teringat sesuatu, “tempat yang disekitarnya air?” gumamnya sambil mengingat. Will memperhatikan Michelle. “Apa tempat yang loe maksud itu kayak gedung tua yang disekitarnya danau?” Tanya Michelle. Will mencoba mengingat, “Gue gak tau pasti apa disekitarnya danau atau kolam, atau apapun itu. tapi gedungnya emang keliatan tua banget!” “Kayaknya gue tau tempat yang loe maksud! Ayo!” Michelle segera berdiri dan melangkah cepat menuju tempat yang dimaksud Will itu. Will segera mengikuti Michelle. Dia benar-benar berharap pada bantuan gadis berambut panjang itu. *** Michelle mengendap-endap dibalik pohon besar sambil memperhatikan sebuah gedung tua yang lumayan jauh dari tempatnya berdiri, Will tak perlu repot-repot bersembunyi seperti dirinya. “Apa gedung itu yang loe maksud?” Tanya Michelle setengah berbisik. Will memperhatikan gedung itu, disekitarnya memang terdapat danau. “Iya, gue yakin ini gedungnya..” Angin lembut meniup rambut Michelle yang dibiarkan lepas, bekas perban dikepalanya masih terlihat bersih. “Gue harus masuk untuk ngeliat apa ada petunjuk tentang tubuh loe..” “Maksud loe, kita?” Will menjelaskan maksudnya. Michelle memandang Will sesaat, “Oke, kita harus masuk untuk ngeliat apa ada petunjuk tentang tubuh loe..” ulangnya. Will tersenyum tipis, “Oke, kita masuk sekarang..” Michelle melangkah keluar dari balik pohon dan melangkah pelan kearah gedung. Dia berusaha terlihat biasa saja agar tidak ada yang curiga, walaupun tak ada satu orang pun yang terlihat berada disekitarnya. Will berjalan disisinya dengan harapan yang membumbung tinggi. Gedung itu sama sekali tak ada yang menjaga atau tanda-tanda ada orang yang pernah kesana. Hampir disetiap permukaan dinding bagian luar penuh dengan coretan cat pilox dan arang. Kondisi gedung itu juga tak memungkinkan jika ada yang tinggal disana. Mereka berhenti didepan gedung sambil melihat situasi. “sepi banget! Kayaknya ngga ada orang..” Ucap Michelle. “Jangan terlalu cepat mennyimpulkan.. kita belum tau apa yang tersembunyi didalamnya...” Ucap Will mengingatkan. Michelle mengangguk, dia membetulkan posisi tas dan melangkah perlahan memasuki gedung yang pintunya sudah tidak jelas seperti apa bentuknya. Tanpa mengeluarkan suara dia melewati pintu. Lantai didalam gedung dipenuhi dedaunan kering yang terbawa angin dari depan gedung. Suasana didalam gedung terasa sedikit mencekam. Kondisi diruang pertama dan kedua sama, tak ada tanda-tanda ada orang disana. “Diruangan ini mata gue ditutup dan diseret ngga tau kearah mana...” Ucap Will ketika mereka masuk ke ruang ketiga. Michelle berhenti sejenak memperhatikan sekitar. Ruangan itu terlihat biasa saja, masih dengan sampah dedaunan kering yang berserakan dilantai. Tapi tidak sebanyak di ruangan sebelumnya. Matanya melihat sesuatu yang terselip diantara dedaunan. Hati-hati dia menyibakkan dedaunan itu dan menemukan sebuah handphone berwarna hitam dengan sedikit gores dipinggirnya. “Handphone gue!” seru Will. “Handphone loe mati..” Ucap Michelle, lalu memandang Will. “Emang selalu gue matiin waktu kursus.. gue belum sempat ngaktifin lagi karena mereka keburu dateng. Mungkin handphone gue jatoh waktu mereka ngedorong gue disini..” Jelas Will. “Hei!!” seru seseorang di belakang Michelle. Michelle terkejut dan langsung memandang kebelakang, dia terkejut melihat seorang pria bertubuh besar berdiri di pintu masuk. “Lari!!!” Teriak Will panik. Michelle segera berlari kedalam gedung untuk menghindari orang tadi. “HEI! Jangan lari loe!!!!” pria tadi segera mengejar Michelle. Michelle berlari sekencang mungkin, masuk ke ruangan satu dan lainnya. Dalam hati dia berharap tidak ada pria besar lainnya didalam gedung. Dia sangat panik. “Michelle! Di balik kardus-kardus itu!” Seru Will sambil menunjuk tumpukan kardus disudut ruangan. Michelle tak sanggup berlari lagi, dia mengikuti saran Will dan segera bersembunyi dibalik kardus itu. nafasnya terengah-engah. Dia duduk dibelakang tumpukan kardus itu sambil mengatur nafas dan memasang pendengarannya dengan baik. “Dia kesini! Jangan bersuara!” Ucap Will dari pintu masuk ruangan itu. Michelle langsung menahan dirinya agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Tak lama terdengar suara langkah berat memasuki ruangan itu. jantung Michelle berdegup kencang, dia benar-benar panik. Dia menutup mulut dan memejamkan matanya. Suasana hening sejenak, lalu terdengar langkah berat itu mendekati tempatnya bersembunyi. Tiba-tiba terdengar suara musik yang ternyata berasal dari handphone pria itu, dia hampir saja berteriak karena kaget. Pria itu segera mengangkat panggilan di handphone-nya, “Hallo bos..” dia diam sejenak, “Tenang bos, ngga ada yang tau tentang anak itu... tenang bos, anak itu masih berada di dalam lubang itu. Iya, bos.. Besok akan segera saya pindahkan ke tebing didekat gedung ini.. Lapor bos, ada penyusup ke gedung ini.. Tapi akan segera saya bereskan! Baik..” dan pembiacaraan itu selesai. Terdengar langkah berat itu menjauh pergi. “Dia udah pergi.” Ucap Will tak lama kemudian. Michelle menghela nafas lega sambil mengurut dadanya. Dia bangkit perlahan sambil memperhatikan sekitar, memang sudah tidak ada pria tadi. “Kita harus segera pergi dari sini!” ucapnya pelan. Will mengangguk, “Ayo!” Ketika hendak melangkah keluar dari belakang tumpukan kardus itu, tangannya tak sengaja menyenggol sebuah kardus yang menyebabkan tutupnya terbuka. Dia terkejut melihat sebuah senjata api laras pendek tergeletak di dalam kardus diatas daun-daun kering. “Ini... ganja..” Ucap Will mengenali daun itu. “Hah?” Michelle memandang Will tak percaya. Dia sekarang sedang berhadapan dengan pengedar ganja yang sejak beberapa bulan lalu mulai dibicarakan oleh tetangga dan orang-orang disekitar rumahnya. “Ayo pergi!” dia melangkah menuju pintu. “Tunggu! loe pasti butuh ini.” Will menunjuk senjata api tadi. Michelle memandang Will tak mengerti, “pistol? Buat apa?” “Michelle! Salah satu dari mereka udah ngeliat loe ada ditempat mereka, ngga mungkin mereka ngebiarin loe gitu aja. Loe butuh perlindungan diri..” Ucap Will mengingatkan. Michelle mengerti maksud Will dan setuju akan hal itu, dia segera mengambil senjata api itu dan memasukkannya kedalam tas. “Kita pergi sekarang!” “Ayo, lewat jendela! Loe ngga mungkin keluar lewat depan lagi.” Ucap Will sambil menunjuk jendela yang tepat berada dihadapan pintu tempat mereka berdiri. Michelle mengangguk, dia segera melangkah kejendela, lalu membuka jendela perlahan. Untung jendela itu tidak macet atau sebagainya, namun jendela itu tidak bisa terbuka lebar. Dia menjulurkan kakinya keluar dan berusaha menyelipkan tubuhnya secepat mungkin. Tiba-tiba dia medengar langkah berat tadi mendekat. “Cepat! Dia balik lagi!” seru Will. Ucapan Will membuat Michelle semakin tegang, dia berusaha sekuat tenaga mendorong tubuhnya keluar melalui jendela. Akhirnya dia berhasil keluar dan segera berlari tepat ketika pria besar tadi melihatnya berada keluar dari jendela. “Woooi!! Berhenti LOE!” seru pria tadi. “Ayo Michelle! Jangan berhenti! Jangan liat kebelakang!” Ucap Will. Michelle terus berlari. Terdengar suara tembakan dari gedung tadi. Beruntung peluru-peluru itu tidak mengenainya, hanya sempat nyaris melukai tubuhnya jika dia tidak terpeleset dan terjatuh sesaat hingga peluru itu mengenai pohon besar di sebelahnya. Dia tak membuangkan waktu untuk berlari lagi. Tanpa disadari dia sudah berlari sampai ke jalan dimana dia melihat Will diseret oleh orang bertubuh besar itu, yang berarti dekat dengan rumah kontrakannya. Dia berhenti sejenak untuk menghela nafas sambil memandang kebelakang, pria bertubuh besar tadi tak terlihat lagi. “Michelle! Michelle!” Panggil seseorang dari arah belakang Michelle. Michelle memandang kearah belakang, matanya membesar melihat seorang pria yang tadi pagi membuatnya lari dari kontrakan. “Itu siapa?” Tanya Will heran. “Bokap gue!” Ucap Michelle pelan, lalu langsung berlari melarikan diri lagi. “Lho, kenapa loe kabur?” Will mengikuti Michelle. *** “Oh.. jadi gitu?” Ucap Will setelah mendengar alasan Michelle kenapa kabur dari ayahnya tadi. Michelle menunduk memandangi jemarinya. Dia dan Will berada dibawah sebuah terowongan yang sering dia datangi ketika merasa tak mempunyai tempat untuk sendiri. Hari sudah gelap, hujan turun perlahan membasahi bumi. Dia memandangi rintik-rintik hujan yang turun semakin deras sambil memeluk kedua kakinya. Udara malam yang dingin mulai menusuk kulitnya. Berkali-kali dia merapatkan jaket. “Tapi kenapa loe kabur? Mungkin aja bokap loe dateng untuk minta maaf karena dia udah menyadari kesalahannya atau mau menyampaikan hal penting lainnya..” Ucap Will. Michelle memandang Will, “Hmm.. kemungkinan itu Cuma 5% akan terjadi..” ucapnya, “Loe ngga pernah tau gimana dia udah nyakitin gue. Bukan hanya hati gue. Tapi seluruh masa depan gue..” “Michelle, 5% tetap saja peluang..” Ucap Will. “5% itu sangat kecil! Gue ngga mau mengambil resiko hanya untuk 5%..” Ucap Michelle. “Bukan hanya 5%.. Tapi kamu masih mempunyai 5% kan..” Ucap Will. Secara tidak langsung dia ingin memberi motivasi pada gadis muda itu. Michelle senang mendengar ucapan Will, paling tidak ada yang menghibur hatinya saat ini. “Umur loe berapa?” Tanya Will. “17.. kenapa?” Tanya Michelle penasaran. Will agak terkejut mendengar jawaban Michelle, “Waktu gue ketemua loe di toko kaset sekitar jam 10 pagi, seharusnya jam segitu loe ada di sekolah kan?” Tanyanya. Michelle mengerti maksud Will, “Hmm.. memang seharusnya begitu. Tapi bagaimana gue bisa sekolah kalau setiap hari gue harus bekerja untuk menghidupi diri sendiri?” “Jadi, setelah loe kabur, loe ngga tinggal sama sauadra atau siapa gitu?” Tanya Will lagi. “Ngga, gue ngga punya siapa-siapa selain nyokap bokap gue. Gue ngga kenal siapa pun yang bisa menolong gue. Setelah kabur dari rumah, gue berusaha mati-matian melanjutkan hidup sendirian. Setahun sebelum gue dapet kerja tetap dan bisa nyewa kontrakan, gue tidur di mana aja. Gue kerja apa aja. Dan suatu hari ketika semuanya terlalu berat, gue hampir..” Michelle menahan kata-katanya. Will menunggu kata-kata selanjutnya, dia memposisikan dirinya sebagai pendengar yang baik. Dia bisa melihat kedua bola mata Michelle berkaca-kaca. Michelle menyibakan poninya yang menutupi wajah, lalu memandang Will dengan wajah tegarnya. “Gue hampir tergoda untuk menjadi pelacur. Karena gua ngga bisa ngelakuin apapun selain menjual diri.” Will tampak tak percaya, dia memandang Michelle dari atas kebawah. “Maksud loe, loe udah ngga....” Dia tak melanjutkan ucapannya. “Tentu aja masih!” Seru Michelle, “Gue bilang HAMPIR!!” Will lega mendengar itu, dia kembali diam dan mendengarkan. “Tapi ingatan tentang almarhum nyokap menyadarkan gue. Kalau gue masih punya tangan, gue masih punya kaki.. So, gue bisa berusaha dengan cara yang baik. Gue ngga mau suatu saat orang-orang ingat tentang gue sebagai pelacur yang udah menghancurkan rumah tangganya, atau lebih buruk dari itu. dengan usaha gue, akhirnya gue dapet pekerjaan di toko kaset itu..” Cerita Michelle, sekaligus mengklarifikasi ucapannya tadi. Will mengangguk mengerti. Dia memandang Michelle kagum, tak menyangka gadis semuda itu telah mengalami hidup seberat itu. sedangkan dia tidak pernah merasa menderita seumur hidupnya. “Loe tau, sekarang umur loe masih 17. Tapi loe udah ngalamin hal yang seharusnya loe rasain mungkin setelah umur 25. Gue salut loe bisa melewati ini semua.” Michelle tersenyum tipis. Tak tau harus tersanjung atau sedih manyadari kehidupannya yang menyedihkan. “Loe tau, sejak lahir. Gue ngga pernah kekurangan apapun. Dan gue bukan orang yang selalu meminta pada orang tua walaupun gue bisa. Sejak kecil nenek gue selalu mengajarkan untuk berusaha sendiri, tapi sekeras apapun gue berusaha, gue tetep aja menggunakan apa yang udah ortu gue kasih. Tapi gue ngga pernah ngerasa semua itu salah, karena gue anak mereka dan wajar mereka memenuhi kebutuhan gue. Teman-teman gue juga ngelakuin itu, jadi kenapa gua ngga? Tapi, setelah gue ketemu loe. Walaupun kondisi gue bukan sebagai orang hidup, gue ngerasa malu banget! Gue malu pada diri gue sendiri. Bulan depan gue pas 19 tahun, tapi apa yang idah gue perbuat untuk diri gue sendiri? Ngga ada! Sedangkan loe yang lebih muda dari gue udah bisa menghidupi diri loe sendiri..” sorot mata Will menunjukkan dia benar-benar rasa salutnya. Michelle memandang Will sejenak. Lalu dia berkata, “Pernah suatu hari, sehari sebelum gue kabur dari rumah, gue mikir. Kenapa gue ngga terlahir sebagai anak orang kaya yang mempunyai segalanya, kenapa gue ngga terlahir dikeluarga harmonis yang saling menyayangi. Gue nangis sepanjang malam sampai mata gue bengkak. Tapi gue ngga pernah mendapatkan jawaban itu. setelah gue mengalami hal yang lebih berat dari itu, gue baru mendapatkan jawabannya...” dia diam sejenak menunggu tanggapan Will. “Apa?” tanya Will. “Gue ngga terlahir sebagai anak orang kaya bukan karena gue ditakdirkan miskin. Gue ngga terlahir dikeluarga yang harmonis bukan karena gue mempunyai ayah yang kasar. Tapi karena gue diberi pelajaran tentang hidup yang sesungguhnya. Dimana gue harus berkerja keras untuk memperbaiki hidup gue agar tidak terjadi lagi untuk keluarga gue nanti.. gue bisa belajar bagaimana caranya menjalani hidup yang keras sebelum gue tiba-tiba menemui itu..” Ucap Michelle dengan senyum optimisnya. Will benar-benar tak menyangka kata-kata sedewasa itu akan keluar dari bibir mungil gadis itu. “Michelle, loe bisa nebak apa yang gue pikirin?” Dahi Michelle berkerut, “Gimana gue bisa? Gue bukan peramal..” Will tersenyum tipis, “Gue mikir.. Kalau aja sekarang kita mengobrol dalam keadaan normal..” Michelle hanya diam, dia memalingkan wajahnya memandang hujan. Sebenarnya dia ingin menyembunyikan matanya yang mulai berair. Belum ada orang yang benar-benar menghargai keberadaan dirinya setelah ibunya meninggal. “Dan Michelle..” Panggil Will. “Hmm..” Gumam Michelle tanpa memandang Will. “Gue berharap, loe akan hidup bahagia. Benar-benar bahagia. ngga perlu lagi lari dari apapun. Dan suatu hari nanti loe akan meninggal dengan senyuman diwajah loe di kasur yang hangat, dikelilingi orang-orang yang menyayangi loe.” Ucap Will lembut. Michelle menghela nafasnya yang mulai berat, air mata menitik satu persatu. Namun dia segera menghapusnya, tak ingin Will menyadarinya. Meskipun Michelle mencoba menyembunyikan wajahnya, Will dapat merasakan apa yang dirasakan oleh gadis manis itu. tangannya bergerak menyentuh rambut gadis itu. Berusaha untuk membelainya, tapi dia tak bisa menyentuh gadis itu. semua ini membuatnya hampir gila. Menjadi hantu yang bergentayangan mencari tubuhnya, itu akan menarik jika berada di sebuah film. Tapi dia tak senang jika mengalaminya. Dia memikirkan pembicaraan lain untuk melewati suasana, dan dia teringat ucapan pria tadi ditelpon. “Michelle, apa menurut loe, yang dimaksud orang tadi dengan ‘anak itu’. itu gue?” Michelle membersihkan sisa air mata dan memandang Will, “Gue rasa. Karena apa mereka akan menyulik banyak anak dalam waktu yang bersamaan?” “Gue rasa juga begitu. Tapi, lubang apa yang mereka maksud?” Tanya Will. Michelle berpikir sebentar, “Gue ngga begitu tau. Tapi gue rasa gue tau dimana tebing yang dia bicarain...” “So, besok loe mau nyoba ke jurang itu?” Tanya Will. “Hmm.. sepertinya..” Ucap Michelle. Will cukup puas mendengar ucapan Michelle. Dan pembicaraan selesai. *** “Loe yakin mau ke gedung itu lagi?” Tanya Will ketika dia dan Michelle mengendap-endap dibalik sebuah pohon sambil memperhatikan gedung kemarin. “Iya, karena kita ngga tau apa tubuh loe udah dipindahin atau belum sama mereka.” Ucap Michelle sambil memperhatikan gedung itu. Didepan gedung berdiri dua orang pria bertubuh besar dengan baju serba hitam disebelah sebuah mobil yang juga berwarna hitam. Mereka tampak sedang membicarakan sesuatu yang penting. Dari jauh Michelle bisa mengenali salah seorang pria yang berdiri disana adalah pria yang hampir menangkap dan menembaknya kemarin. Dia harus lebih berhati-hati. Tiba-tiba mata pria kemarin itu menyapu pepohonan dan tampak terkejut melihat pohon tempatnya bersembunyi, jantung Michelle sempat berdegup kencang. Dia takut jika ketahuan. Tapi ternyata pria itu tampak tidak curiga, dia melanjutkan pembicaraan. Beberapa saat kemudian, pria yang kemarin pergi meninggalkan temannya. Lama Michelle menunggu pria kedua ikut pergi, hingga dia bisa kembali menyelinap kedalam gedung. “Michelle...” Panggil Will sambil memandangi kedua tangannya. Michelle memandang Will, matanya langsung melotot melihat tubuh Will yang mulai menghilang. “Will, loe kenapa?” Bisiknya panik. Will menggeleng, “Ngga tau, gue bener-bener ngga tau.. kenapa bisa gini??” semakin lama tubuh Will menghilang hingga tak ada yang tersisa. “Will? Will!!” Panggil Michelle. Tapi Will tak pernah muncul kembali, dia memandang kesekeliling. Namun ketika memandang kebelakang, betapa terkejutnya dia ketika menyadari pria yang kemarin sudah berdiri dibelakangnya. “Apa kabar nona?” ucap pria itu sambil tersenyum sinis. Michelle berbalik dan mencoba kabur, tapi pria itu dengan cepat menarik lengan dan menjambak rambutnya. Dia tak bisa berkutik lagi. “Mau kemana nona manis? Apa loe ngga mau main sama gue dulu?” Tanya Pria itu sambil tertawa. “Lepasin! Awww!!! Sakit!” jeritnya ketika pria itu menarik rambutnya terlalu keras. Pria kedua muncul dari balik pohon, “Jangan buang-buang waktu, bawa dia dan masukkan ketempat bocah ingusan kemarin! Kita ngga mungkin ngelepasin dia!” “Ayo ikut!!” Seru pria tadi sambil menyeret tubuh Michelle kedalam gedung. “AAWW!! Sakit!!” Michelle terus memberontak, tapi semakin dia berontak, pria itu semakin erat memegang lengannya. Akhirnya dia tak bisa melakukan apapun selain mengikuti dua pria itu. “Langsung aja bawa dia ke tempat anak itu!!” Perintah pria kedua. Maksudnya Will? Batin Michelle. “Baik bos..” Ucap pria tadi. Michelle malah tak sabar ingin segera bertemu dengan tubuh Will, meskipun dia masih tak mengerti mengapa tiba-tiba arwah Will menghilang. Dia berpura-pura memberontak agar mereka tak ragu untuk membawanya ketempat tubuh Will. Tapi hal itu malah membuat tasnya terjatuh, dan.. PLAKKK!!! Pria besar itu menampar Michelle hingga sudut bibirnya pecah dan menyeluarkan darah. Gadis itu tak bisa memberontak lagi. Semuanya terasa seperti berputar. Pria itu membawa Michelle melewati hutan-hutan di sebelah gedung. Tak lama kemudian pria itu berhenti dan meraba-raba tanah yang ditutupi dedaunan kering, lalu dia menarik sesuatu yang ternyata pintu rahasia. Dengan satu tangan dia mendorong tubuh Michelle kedalam lubang dibalik pintu itu. DUAAKK!! Tubuh Michelle membentur permukaan keras. Tubuhnya terasa remuk. Sepertinya jarak dari dasar lubang ini dengan permukaannya sangat jauh. Dia tak bisa menggerakkan tubuhnya untuk beberapa saat, dia hanya bisa terbaring kaku dipermukaan curam dan dingin itu. semuanya gelap, apalagi setelah pria itu menutup pintu tadi dengan keras. Tapi setelah beberapa saat, ternyata tak segelap awalnya, dia hanya perlu membiarkan pupil matanya terbiasa dengan gelap. Dan semuanya terlihat jelas walaupun seperti melihat dalam ruangan berlampu 5 watt. Setelah memastikan tak ada tubuhnya yang patah, dia perlahan bergerak bangkit. Ketika melihat kesamping kanan, dia melihat sesosok tubuh tergelak tak bergerak. “Will??!!!” dia berusaha secepat mungkin untuk mendekati tubuh Will. Kondisi Will sangat memperhatinkan, terdapat beberapa lebam diwajahnya. Tubuh altletis yang terbalut sweater abu-abu itu terkuali lemah tak berdaya. Dia benar-benar tak tega melihat kondisi cowok itu. dia membuka penutup matanya perlahan, tak ada respon dari Will. Tiba-tiba terdengar langkah besar dari atas, dan pintu diatas kepalanya terbuka. Dia segera berbaring dan berpura-pura pingsan. Ketika itu dia baru menyadari kalau ada sebuah tangga yang menempel di dinding. Terdengar suara dua orang pria yang saling berkomunikasi, setelah itu seorang dari mereka turun. Jantungnya berdegap kencang, berharap tak terjadi apa-apa pada dirinya. Dia merasakan langkah besar melewati pinggangnya. Dia mengintip dari celah matanya, pria itu mengangkat tubuh Will dengan susah payah. “Duhh.. kayaknya mati beneran nih bocah!” Ucap pria itu pada temannya setengah berteriak. “Biarin aja! Kan lebih gampang ngebuangnya..” Ucap pria yang diatas lubang santai. “Serius loe? Trus, nih cewek mau diapain?” Tanya pria pertama tadi lagi. “Udah, ngga usah dipikirin. Biarin aja dia membusuk disini...” Ucap pria kedua, lalu melemparkan seutas tali kebawah. Pria pertama mengikatkan tubuh Will pada tali dan membiarkannya naik keatas, lalu dia naik melalui tangga. Tak lama kemudian terdengar bantingan pintu dan semua kembali gelap. Michelle membuka matanya perlahan, dia segera bangkit dan meraba-raba mencari tangga tadi. Dengan hati-hati dia memanjat tangga. setelah tiba di puncak tangga, dia berusaha membuka pintu dengan kepala dan sebelah tangan. Bersyukur pintu itu tidak dikunci atau di tahan oleh apapun. Dia segera keluar dari lubang dengan hati-hati. Ketika itu dia baru menyadari tangan dan kakinya lecet di beberapa tempat. Setelah memastikan lingkungan aman, dia melangkah cepat keluar dari hutan. Will pasti sudah dibawa ke jurang itu, tapi dia tak mungkin datang kesana dengan tangan kosong. Jadi dia memutuskan untuk kembali ke gedung tua itu untuk mengambil tas, itu pun jika para pria itu tidak membuang tasnya. Dia melangkah perlahan menuju gedung tua sambil menahan sakit dri kakinya. Dia bersembunyi dibalik sebuah pohon sambil memperhatikan keadaan gedung, tak terlihat ada orang disana. Sepertinya kedua orang tadi tidak ada, dia segera melangkah masuk ke gedung dan mencari tasnya. Ternyata tas berwarna hitam itu masih berada di tempat ketika dia jatuh. Dengan cepat dia membuka tas dan mengluarkan pistol serta handphone Will. Sambil melirik kanan dan kiri dia memasukkan handphone Will ke saku celana, lalu berjalan keluar dengan memegang pistol. Meskipun tak pernah menggunakannya, tapi dia sudah biasa melihat dalam adegan di film. Paling tidak dia tahu bagaimana cara untuk menggunakannya. Dia menelusuri hutan sambil tetap was-was. Dengan sigap dia segera bersembunyi di balik sebuah pohon ketika melihat dua orang pria besar tadi diujung jalan. “Si bos aneh banget! Ngapain ngebiarin tuh bocah disana. Tinggal di lempar ke jurang kan beres, gak ada bukti lagi kalau kita yang udah nyulik dia.” Ucap Seorang pria ketika berlalu. “Iya, kalau gini ceritanya keburu ketangkep kita..” Ucap yang satu lagi. Michelle lega mendengar itu, berarti tubuh Will belum dibuang kejurang, dia harus bergerak cepat agar tidak terlambat. Dia segera menyelinap diantara pohon menuju pinggir jurang. Jurang itu sangat dalam, jika terjatuh kedalam mungkin akan langsung mati. Dari kejauhan dia bisa melihat tubuh Will yang tergeletak beberapa inci dari pinggir jurang. Disana hanya 1 orang yang berdiri memandang kearah langit-langit jurang, pria bertubuh atletis itu terlihat sangat tenang sambil memasukkan kedua tangannya disaku. Dari belakang pria itu terlihat familiar dimatanya. Dia menggenggam erat pistol sambil berjalan mendekati pria itu. “Kenapa loe nyulik Will??” Tanya Michelle pelan. Cowok itu tak terlihat kaget mendengar suara Michelle. Dia berbalik pelan dan memandang gadis itu. Michelle terkejut melihat pria itu. pria yang tak asing dimatanya. Kevin, bosnya di toko kaset. Dia memandang cowok itu tak percaya, “Kevin?” Kevin tersenyum, “Hei Michelle, datang untuk melihat-lihat?” Michelle benar-benar tak percaya Kevin ada dibalik penculikan Will, seseorang yang menurutnya ramah dan hangat. “Kevin, loe bos orang-orang itu??” Kevin tersenyum bangga, seperti seorang anak kecil yang baru saja menjuarai sebuah perlombaan. “Ya.. keren kan..” nada bicaranya masih seperti biasa, sangat akrab dan suka membuat beberapa lelucon. “Tapi kenapa?” Tanya Michelle. Kevin mengeluarkan kedua tangannya dari saku dan melipatny didada, “Hmm.. tentu ada alasan kan..” “Apa alasannya? Kenapa loe nyulik Will? Salah dia apa?” Tanya Michelle lagi. Kevin memandang Michelle lembut, “Michelle, terkadang kita harus berpura-pura tidak tau agar selamat.. Loe ngerti kan maksud gue?” Michelle mengerti, Kevin memeintanya untuk tetap diam dan tidak ikut campur. Dia memandang tubuh Will. “Michelle, loe udah masuk terlalu dalam. Jadi gue mohon jangan melangkah lagi, segera mundur dan hidup seperti biasa. Loe tau, gue ngga bisa ngeliat cewek manis kayak loe terluka..” “Kevin, gue datang kesini untuk membawa tubuh Will!!” Seru Michelle. Kevin tak terkejut, malah terlihat kagum. “Wow, loe tau namanya..” “Kevin, berhenti bercanda! Loe harus bawa Will pulang! Loe tau kan betapa besarnya berita tentang penculikan Will! Apalagi loe udah ngebunuh dia..” Ucap Michelle. Kevin memandang Will, “Sepertinya loe ngga akan ngebiarin semua ini berlalu begitu aja..” dia melirik Michelle, “Ya kan?” “tentu aja! Loe bisa dipenjara karena udah ngebunuh orang!!” seru Michelle. Kevin tertawa kecil, “Ya, memang.. gue pasti di penjara lama banget karena udah ngebunuh orang dengan sengaja. Tapi itu kan kalau ada yang tau gue dalangnya, kalau ngga ada? Gue bebas kan?” Jantung Michelle berdegup kencang, perasaannya mulai tidak enak. Kevin sudah mengancamnya. Dia memperat genggamannya pada pistol. Perlahan Kevin melepas lipatan tangannya, tangan kanannya bergerak mengambil sesuatu dibalik bajunya. Ternyata senjata api laras pendek dengan peredam suara. Michelle segera mengcungkan senjatanya kearah Kevin sebelum kalah langkah. Mata Kevin membesar kagum, “Wow! Reflek yang bagus.. Loe bisa masuk ke kelompok penembak pribadi gue kalau loe mau..” “Kevin! Gue ngga tau apa alasan loe menculik Will, tapi apa yang loe lakuin ini salah!!” Ucap Michelle berusaha menyadarkan Kevin. “Loe mau tau alasannya?” Kevin memandang langit dan menjawab sebelum Michelle bicara. “Karena gue juga anak dari seorang pengusaha Jonathan Kim! Seharusnya nama gue adalah Kevin Kim..” Dahi Michelle berkerut, “Apa??!” “Dan loe tau semuanya.. Gue anak dari dari bokap sebelum dia nikah dengan nyokapnya. Dan loe tau, gue sama nyokap gue dibuang gitu aja sama dia. Setelah itu nyokap gue bunuh diri, dan tinggal gue yang harus hidup sendiri ditengah cacian dan makian orang-orang. Hingga akhirnya gue berhasil ngebuka toko kaset. Hidup gue mulai teratur...” Cerita Kevin. Semuanya mulai terlihat terang bagi Michelle, “Jadi karena itu loe dengan gampang nerima gue untuk kerja di toko loe? Karena nasib kita sama??!!” “Yup! Betul banget! Baik banget kan gue, woow..” Kevin tertawa manis. Pasti tak akan ada yang menyangka disa telah melakukan semua ini jika melihat wajahnya. “Tapi Kevin, apa gunanya loe ngebunuh Will? Dia ngga tau apa-apa.” Ucap Michelle. “Will memang ngga tau apa-apa.. Tapi bokapnya kan tau, so gue mau bikin bokapnya, atau bokep gue, ngerasain gimana harapannya hancur seketika!” ucap kevin. Air mata Michelle menetes, dia dapat merasakan kepedihan yg dirasakan Kevin meskipun dia memamerkan senyum manisnya. “Kevin, sekarang udah selesai kan? Ngga ada gunanya loe buang Will kejurang..” Kevin tertawa kecil, “Jadi loe belum ngerti?” Michelle memandang Kevin tak mengerti. “Will belum mati!” Ucap Kevin santai. Michelle terkejut, “Hah?!!” dia memandang tubuh Will, terlihat seperti mayat. “Dan Michelle, gue rasa loe mau mati disini sama adek TIRI gue..” Kevin mengangkat pistolnya dan menarik pelatuknya. Disaat yang bersamaan Michelle juga melakukan hal yang sama. Dor!!! Terdengar letusan besar, dari kedua pistol. “Ahkkk!!!” Michelle memegang perut sebelah kirinya yang tertembus peluru, darah mengalir deras dari luka itu. “Ahkkk!!!” Kevin tak sempat memegang bahunya ketika dorongan peluru dari pistol Michelle mendorong tubuhnya kebelakang, dia tak mampu melawan gravitasi bumi hingga terjatuh ke jurang. Michelle terjerembab ketanah, perutnya terasa sangat nyeri. Dia menyeret tubuhnya mendekati Will. Dengan tangan berlumuran darah dia memegang dada Will, ternyata benar jantungnya masih berdetak walaupun lemah. Nafasnya mulai terengah-engah, darah dari perutnya mengalir seperti mata air. Kakinya mulai mati rasa. Dia segera mengeluarkan handphone Will dan mengaktifkannya sebelum dia kehilangan kesadarannya, dia mencari dikontak panggilan. Akhirnya dia menemukan kontak ibu Will. Segera dia memanggil kontak itu. “Hallo! Will! Kamu dimana?” Ucap suara perempuan diseberang sana. Michelle mengumpulkan semua suaranya yang tersisa, “Will sekarat.. segera datang!” dia meletakkan handphone Will di tanah, suaranya tak sanggup keluar lagi. Mereka tentu bisa menemukan Will melalui GPS dari handphone Will. Dia berbaring disebelah tubuh Will sambil menahan darah yang terus keluar dari perutnya. Dia memandang wajah Will yang hanya beberapa senti dari wajahnya. Dia tak takut mati, juga tidak marah ini harus terjadi. Dia senang bisa membantu Will, pria yang dalam beberapa jam dapat mencuri hatinya. *** Semuanya terasa tenang. Perlahan terdengar sedikit kebisingan yang tak mengganggu. Udara segar terus mengalir dihidungnya. Nahkan dia bisa mendengarkan denyut jantungnya sendiri, sekelebat cahaya menerobos kecelah matanya. Michelle membuka matanya perlahan, pandangannya buram. Terlihat seorang pria yang mendekat kesisinya, tapi dia tak tau itu siapa. Terdengar pria itu berbicara, tapi tak terdengar jelas. Beberapa saat kemudian, semua indranya sudah berfungsi baik. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa pria itu adalah ayahnya. “Michelle, kamu udah ngga apa-apa?” Ucap ayah Michelle cemas. Michelle tak percaya meilhat ayahnya berbicara selembut itu padanya, dia mencoba untuk memberontak. Tapi dia tak bisa banyak bergerak karena nyeri diperutnya. Ketika itu dia menyadari dia berada di rumah sakit. “Michelle! Tenang! Papa tau kamu masih marah sama papa.. tapi papa datang kesini untuk meminta maaf atas segalanya. Papa berusaha untuk mencari kamu setelah kamu kabur dari rumah, tapi baru beberapa bulan lalu papa mengertahui dimana kamu bekerja. Papa mencari kamu ketempat kamu kerja, ditoko kaset itu. bos kamu memberi tahu papa alamat kontrakan kamu. Tapi kamu malah kabur lagi ketika papa datang.. Papa mohon, maafin papa. Papa benar-benar menyesal..” Ucap ayah Michelle dengan linangan air mata. Michelle teringat ucapan Will ketika mereka istirahat dibawah jembatan. Air matanya mengalir mengingat itu. tapi, dimana Will? “Will mana?” tanyanya pelan. Dahi ayah Michelle berkerut, “Will? Cowok yang sama kamu di dekat jurang itu? dia ada di ruang ICU juga. Dua atau tiga kamar dari sini...” Michelle lega mendengar ucapan ayahnya, berarti Will masih hidup. Dia meraba perut sebelah kirinya. Masih teringat betapa sakitnya ketika peluru dari senjata api Kevin menembusnya, dia memandang ayahnya, “Kevin?” Ayah Michelle tampak enggan menjawab, lalu menggeleng pelan. Menandakan Kevin tidak selamat dari ketinggian tebing itu. Michelle sedih mendengar itu. Kevin memiliki nasib yang sama dengannya. Ayah Michelle memegang punggung tangan putrinya, “Michelle, papa ngga mau kamu hidup sepreti ini lagi. Kamu mau kembali pulang bersama papa? Mama kamu khawatir sekali dengan kamu, dia tidak pernah sekali pun melupakan kalau kamu tidak ada dirumah..” Mama? Michelle menarik tangannya, “Maksud papa tante Regina?” Ayah Michelle mengangguk pelan, dia kembali mendapat tatapan tajam dari putri semata wayangnya. Michelle memalingkan wajahnya, dia masih belum bisa menerima perlakuan ayahnya setelah adik tirinya lahir. “Ngga perlu! Aku bisa mengurus hidup aku sendiri! Papa bisa urus anak baru papa itu!” ucapnya ketus. “Michelle?!” ayah Michelle menatap Michelle, “Itu adik kamu, namanya Amara..” “Aku ngga peeduli!!” Air mata Michelle mulai mengalir dari sudut matanya. Ayah Michelle mengerti alasan perlakuan putrinya itu, “Papa ngerti kalau kamu kecewa, tapi kamu ngga pernah tau kan apa yang udah papa dan mama kamu alami setelah...” “Dia bukan MAMA AKU!!” Potong Michelle. “Oke! Tante Regina!” Ucap ayahnya memperbaiki, “.. setelah kamu kabur dari rumah..” lanjutnya, “Tante Regina sangat sedih dan merasa bersalah. Dia menangis setiap hari. Dia yang meminta papa untuk terus mencari kamu. Bahkan dia tidak memperhatikan anaknya sendiri!! Amara mulai sakit-sakitan ketika memasuki 1 tahun karena tante Regina selalu stress memikirkan kamu! Dua bulan kemudian Amara meninggal!!!” Michelle terkejut, dia memandang ayahnya tak percaya. “Apa?!” Air mata ayah Michelle mulai menitik, “Iya Michelle, Amara meninggal dunia! Apa kamu tidak bisa melihat itu sebagai bukti kalau kami memang menginginkan kamu kembali? Papa mohon Michelle...” Michelle merasa bersalah. Semua pikiran buruknya selama masa pelarian, membuatnya penuh dengan kebencian pada wanita yang dia pikir adalah perusak kehidupannya. Dia tak menyangka kenyataan yang terjadi seperti ini. Jadi selama ini yang tersiksa bukan hanya dirinya, juga ayah dan ibu tirinya. “Michelle, Papa dan tante Regina benar-benar ingin kamu kembali. Apa kamu tidak bisa memaafkan kami?” Tanya ayah Michelle. “Pa..” Panggil Michelle pelan dalam isak tangisnya. “Iya sayang..” ucap ayahnya lembut. “Aku..” Michelle tercekik oleh kata-katanya sendiri, “Aku.. mau ketemu tante Regina...” Ayahnya tersenyum senang mendengar ucapan Michelle sambil mengelus rambut putrinya, “Benar sayang?” Michelle mengangguk, “Iya, Pa.. aku mau minta maaf untuk kepergian Amara, juga karena aku selalu memanggil dia tante..” Ayahnya mengecup dahinya, “Iya sayang, kita akan segera ketemu tante Regina...” Michelle tak menyangka ayahnya akan berkata seperti ini, “Maafin aku pa.. aku udah bikin papa susah..” “Ngga apa-apa sayang, yang penting sekarang kamu udah baik-baik aja. Itu yang terpenting!” Ucap ayah Michelle. Dan inilah kenyataan. Tak ada yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi dimasa depan. Michelle kembali kepada keluarganya. Dia mendapat sambutan hangat dari ibu tirinya, Regina. Ternyata ibu tirinya sangat penyayang seperti ibu kandungnya. Dia bahagia menjalani kehidupannya yang baru. Namun ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Dia tak sempat menemui Will ketika pulang dari rumah sakit, karena tanpa dia ketahui keluarga cowok bertubuh atletis itu membawanya keluar negeri untuk menjalani operasi patah tulang. Entah kapan dia bisa bertemu cowok itu secara hidup, tapi dia sudah merasa senang telah membantunya. *** “Michelle, ayo.. dagingnya udah masak nih..” Panggil Regina dari pekarangan rumah dengan senyum ramah yang tak pernah disadari Michelle. Michelle yang duduk diteras rumah mengangguk dan segera menghampiri ayah dan ibu tirinya. Mereka mengadakan pesta BBQ kecil-kecilan untuk menyambut kepulangan dirinya kerumah meskipun sudah lewat sebulan. Dia melangkah perlahan menuju perkarangan sambil memegangi perut sebelah kirinya yang maish nyeri. Regina menghampiri Michelle dan membantunya berjalan, “Hati-hati sayang.. Nanti lukanya berdarah lagi..” Michelle tersenyum, “Iya,Ma..” Regina memandang Michelle senang. Matanya mulai berkaca-kaca. “Mama kok nangis?” Tanya Michelle bingung. Regina tersenyum sambil menggeleng, “Mama ngga nangis sayang, mama Cuma senang karena kamu manggil ‘MAMA’” ucapnya terharu. Michelle merasa sangat bersalah telah melukai hati wanita yang sangat lembut ini. Dia duduk dikursi disebelah Regina. “Nahh.. ini dagingnya udah matang..” Ayah Michelle meletakkan sepiring besar daging-danging yang sudah dia panggang. “Wahh.. sausnya mana nih?” Tanya Regina heran. “Yahh.. masih dirumah, papa ambil dulu ya..” Ucap ayah Michelle. “Eh.. ngga usah pa, biar aku aja..” Ucap Michelle sambil berdiri perlahan. “Yakin sayang? Kamu kan masih sakit..” Ucap Regina cemas. “Ngga apa-apa ma.. aku ambil dulu ya..” Michelle melangkah menuju pintu masuk. Ketika itu sebuah mobil berhenti didepan jalan masuk rumah Michelle. Dia, Regina dan Ayahnya serentak memandang kearah mobil itu dengan tatapan penasaran. “Siapa ya?” Gumam Regina. Pintu penumpang mobil berwarna hitam itu terbuka, turun seorang cowok memakai sweater coklat. Cowok itu bermata indah dan wajah bercahaya. Dia memandang Michelle dengan senyum manisnya, “Michelle..” Michelle tak percaya dengan matanya sendiri, dia hanya bisa menatap cowok itu tanpa bergerak. Air matanya menetes tanpa dia sadari, “Will?” ucapnya pelan. Will melangkah cepat kearah Michelle. Dia memendang rindu yang sangat besar hingga tak mampu di bendungnya sendiri. Michelle melakukan hal yang sama. Beberapa saat kemudian dia sudah terbenam dalam pelukan Will. Air matanya tak bisa berhenti mengalir. Will memegang kedua pipi Michelle, matanya memperhatikan setiap sudut diwajah gadis itu. “Gue ngga percaya sekarang gue bener-bener nyentuh loe..” ibu jarinya menghapus air mata dipipi Michelle dengan lembut. Michelle memandang kedua bola mata Will, “Gue kira loe ngga inget sama gue..” “Ngga mungkin gue ngga inget sama orang yang sangat berarti dihidup gue.. Dan sekarang gue ngga mau ngelepasin orang itu lagi..” Jawab Will. Michelle tak bisa menahan air mata bahagia dimatanya. Will memeluknya erat hingga dia dapat mendengar denyut jantungnya. Regina dan ayah Michelle bahagia melihat Michelle tersenyum dalam airmatanya. Tak ada yang sangat indah kecuali melihat kebahagian Michelle.

0 komentar:

Cerpen cinta - Another love story

Michelle sudah berdiri di balik meja kasir sebuah toko kaset di sebuah mall selama berjam-jam dengan seragam berwarna abu-abu dan topi hitam menunggu pelanggan yang akan membeli kaset. Dia sedang menulis sesuatu di buku jurnalnya ketika seorang cowok berjaket biru dengan garis merah dilengannya membawa sebuah kaset berjalan ke meja kecil didepan meja kasir. Dia dapat melihat dari sudut matanya cowok itu memasukkan kaset ke cd room dan menekan tombol play setelah kasetnya masuk ke kepemutar, lalu dengan sigap dia memasang earphone. Untuk sejenak cowok itu hanya berdiam diri sambil mendengarkan lagu ditelinganya. Michelle menggantung ujung penanya di jari sambil memikirkan hal apa saja yang menurutnya menarik untuk ditulis di jurnal pribadinya itu. tak sengaja dia memandang wajah cowok yang masih serius dengan musik ditelinganya. Wajah cowok itu terlihat seperti bercahaya. Hidung, mata, poni dan bibirnya terlihat sangat sempurna. Sempat terbesit dipikirannya betapa beruntung cowok itu memiliki wajah sempurna, dan jika dilihat sepertinya cowok itu juga mempunyai kehidupan yang sempurna. Dia tersadar dari lamunannya ketika tangan cowok itu bergerak membuka earphone ditelinganya, dia segera berpura-pura sibuk dengan jurnalnya. Dalam hati dia sangat malu karena hampir ketahuan sedang memperhatikan cowok itu. Cowok itu meletakkan kaset itu diatas meja kasir dan mengeluarkan uang dari dompetnya. Michelle segera berdiri dan menghitung harga kaset itu dengan lat pemindai barcode, dia memandang layar komputer dengan hati-hati. Dia masih merasa sedikit grogi. “Rp. 40.000..” ucapnya pelan, dia menghindari tatapan mata cowok itu. Cowok itu memberikan uang Rp. 50.000 pada Michelle. Dia merasakan keanehan sikap Michelle. Dia memandang bayangan wajahnya di kaca transparan yang menjadi dinding toko kaset itu, memastikan tak ada yang aneh pada wajahnya. Namun tak ada apapun yang membuat wajahnya terlihat janggal. Michelle segera membungkus kaset tadi dan memberikannya pada cowok itu bersama uang kembalian. “Ini, terima kasih sudah berkunjung ketoko kami dan silahkan kembali lagi..” ucapnya pelan. Sekilas dia memandang kedua bola mata cowok itu. bola matanya berwarna coklat muda, sangat mengagumkan. Cowok itu tersenyum, “Thank’s..” dia mengambil kaset dan uang kembaliannya, lalu segera melangkah keluar dari toko. Michelle sempat memandangi cowok itu untuk beberapa saat, lalu dia kembali memandang jurnalnya. Entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang akan terjadi yang berhubungan dengan cowok itu, tapi dia berusaha membuang pikiran itu jauh-jauh. “Jangan terlalu memperhatikan.. Nanti patah hati..” Goda Kevin, bos tempatnya bekerja sambil berlalu dengan senyuman khasnya. Michelle hanya tersenyum tipis sambil menundukkan wajah. Yap! Inilah hidupnya. Michelle Regina. Seorang gadis yang masih berusia 17 tahun yang sudah harus merasakan beratnya berjuang demi menyambung hidup. Pada usia 11 ibunya meninggal karena kanker. Wanita yang sangat tegar dan selalu menjadi inspirasi hidupnya. Tak lama kemudian dia merasakan betapa kejamnya ibu tiri, bahkan ayahnya sudah mulai tak memperdulikan dirinya. Ketika adik tirinya lahir, ayahnya bahkan tidak segan-segan menyakitinya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk melarikan diri ketika usianya masih 15 tahun. Oleh karena itu dia tak bisa melanjutkan sekolahnya. Dia berjuang sendiri dengan tangan dan kakinya untuk menyambung hidup. Michelle berjalan seorang diri diantara gelapnya malam. Jalanan belum terlalu sepi. Dia merapatkan jaketnya sambil memastikan sekeliling. Dingin terasa sangat menusuk kulit. Dia mempercepat langkahnya agar segera sampai ke kontrakan kecil yang dia sewa dengan harga paling murah. Kondisi rumah itu hanya memiliki dua ruangan kecil, bagian depan dia jadikan kamar dan dibelakang dapur. Meskipun begitu, dia bisa menyulap rumah itu menjadi rumah yang sangat nyaman. Dia tinggal di daerah kumuh dan lingkungan yang kurang baik. Selisih beberapa rumah dari kontrakannya ada tempat pelacuran yang selalu buka sampai pagi, bahkan dia pernah ditawari untuk bekerja disana. Michelle membaringkan tubuhnya diatas kasur. Memandang langit-langit kamarnya. Tiba-tiba dia teringat wajah cowok tadi, wajah yang seperti bercahaya yang telah menarik perhtiannya. Dia baru menyadari kalau dia adalah remaja. Tapi apa yang harus dia lakukan?? Berlaku seperti remaja lain yang menghabiskan uang di mall bersama teman-teman mereka, atau memiliki kekasih tampan yang selalu mereka pamerkan kemana-mana? Sudah pasti dia tak bisa melakukan itu semua. Hidupnya hanya bisa diisi oleh kerja keras untuk menyambung hidup. Rasanya dia tak berhak mendapatkan itu semua. Tapi.. bayangan cowok itu membuat hatinya bergetar. Apa yang terjadi? *** Malam ini Michelle pulang lebih awal karena bos tempatnya bekerja mempunyai acara yang tak bisa dia lewatkan. Biasanya dia baru pulang dari toko kaset sekitar pukul 10 atau 11, tapi sekarang baru pukul 8. Dia senang bisa mempunyai waktu senggang malam ini, jadi dia bisa mampir kesebuah pasar malam yang tak jauh dari rumahnya. Meskipun tak mempunyai teman, paling tidak dia bisa merasa terhibur berada di tengah-tengah keramaian sambil menyaksikan berbagai pertunjukan. Beberapa kali dia mengelap air mata yang mulai membasahi pipinya ketika mengingat almarhum ibunya sering mengajaknya ke pasar malam dulu. Matanya terpaku pada sebungkus gulali yang dijual oleh seorang pedagang. Dia menyukai gulali, tapi jika dia membeli gulali itu bisa saja membuka kenangan-kenangan tentang ibu yang sangat mencintainya. Suasana membahagiakan itu cukup menyiksa batinnya, jadi dia memutuskan untuk pulang. Dia menendang beberapa batu kecil yang tergeletak dijalan. Jalanan menuju rumahnya sangat sepi, membuat suasana hatinya semakin mellow. Tiba-tiba terdengar suara mobil yang direm secara paksa tak jauh dari tempatnya berjalan, dia melirik mobil itu dari sudut matanya. Tampak beberapa pria bertubuh besar keluar dari mobil sambil menyeret seorang pria muda yang memakai sweater berwarna abu-abu. Dia tak bisa melihat pria yang diseret itu dengan jelas. Dia hanya menunduk berpura-pura tak melihat apapun. Karena disekitar rumahnya bukan hal yang aneh jika terjadi tindak kriminal. “Aaaww!!” rintih Michelle ketika salah seorang pria besar itu menabraknya. Dia memegangi bahunya yang nyeri. Pria itu memandang Michelle dengan muka garangnya, “Jangan menutupi jalan!!” Michelle segera menyingkir dari jalan agar mereka bisa lewat. “Lepasin!!!” seru pria yang diseret itu. Michelle mengangkat wajahnya untuk melihat pria itu. Meskipun gelap, tapi dia bisa mengenali pria itu dengan gampang dari hidung dan matanya. Dia terkejut ketika menyadari yang sedang diseret itu adalah cowok yang tempo hari berbelanja di toko kasetnya. Cowok yang tak bisa berkutik karena dipegangi oleh dua orang bertubuh besar dikanan dan kirinya itu juga mengenali Michelle, dia berteriak meminta pertolongan. “Heii!! Loe yang di toko kaset itu kan?? Please! Tolong gue!!!” Michelle ingin sekali bisa menolong pria itu, tapi apa yang bisa dia lakukan. Dia ketakutan. Tiba-tiba seorang pria yang paling belakang menjambak rambutnya dengan kasar. “AAAwww!!!!” jeritnya. Pria bertubuh besar itu mencengkeram rambut Michelle dengan kuat, lalu berbisik ditelinga gadis itu. “Anggap loe ngga ngeliat apapun malam ini kalau loe masih mau hidup!! NGERTI LOE?!!” ancamnya. Michelle kesakitan. Tak tau apa yang harus dia perbuat, dia mengangguk perlahan. “I.. iya..” “Kalalu loe sampai ngelapor ke polisi, loe bakalan gue buat kayak cowok yang didepan itu!!!” pria itu menyentakan tanganya hingga tubuh Michelle yang kecil terhempas ke aspal. DUUG!!! Rasa pedih menjalar dikepala Michelle untuk beberapa saat, lalu menghilang. Secercah cahaya masuk kecelah matanya, ingatan-ingatan tak mengenakan itu kembali muncul. Senyum ibunya, kasih sayang yang selalu dia rasakan ketika itu. dan perlakuan tidak adil dari ayahnya. “Chel! Chel! Banguun!” Ucap sebuah suara lembut yang tak asing ditelinga Michelle. Michelle membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa sangat pusing, semuanya terasa berputar. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali untuk membiasakan matanya dengan cahaya terang. Setelah beberapa saat baru dia bisa melihat dengan jelas siapa yang memanggil namanya, Finda, seorang gadis yang tinggal tak jauh dari tempat tinggalnya. “Loe kenapa Chelle?? Kok bisa pingsan di jalanan gini??” Tanya Finda cemas. Setelah mendengar ucapan Finda, Michelle baru mengingat kejadian terakhir. Ternyata dia pingsan semalam. Dahinya terluka, darah kering masih terpapar jelas disana. Dia belum punya cukup tenaga untuk menceritkannya pada Finda. “Yaudah, loe bangun dulu.. gue anter kerumah ya.. Loe istirahat aja dulu..” Ucap Finda sambil membantu Michelle bangkit. Sesampai dirumah. Michelle segera berbaring ditempat tidurnya. Dia mengingat cowok yang telah merasuki pikirannya selama berhari-hari itu. bagaimana nasibnya sekarang. “Ohh.. jadi gitu. Hati-hati loe Chel, mereka pasti orang suruhan yang ditugasin untuk ngabisin tuh cowok. Mending jangan cari gara-gara dengan orang yang kayak gitu. Entar malah loe yang kena batunya.” Ucap Finda setelah mendengar cerita Michelle ketika dia baru selesai mengobati luka didahi gadis itu. “Tapi gue khawatir banget dengan cowok itu..” Ucap Michelle. Finda memandang Michelle tak mengerti, “Chell.. belum apa-apa aja loe udah kayak gini, gimana kalau loe sampe dibunuh sama mereka?? Emang loe kenal sama cowok itu??” Michelle menggeleng, “Ngga.. tapi dia pernah belanja di toko kaset tempat gue kerja.” “Udah deh, Chel.. Jangan cari masalah! Yaudah, gue balik dulu ya. Takut nyokap nyariin.. loe ngga apa-apa kan gue tinggal??” Tanya Finda. Michelle tersenyum tipis sambil mengengguk, “Iya, ngga apa-apa.. Thank’s ya..” Finda bangkit dan keluar dari rumah kontrakan Michelle. Walaupun Finda memintanya untuk tidak memikirkan tentang cowok itu, tapi pikirannya tak bisa berhenti membayangkan wajah panik cowok itu semalam. Dia merasa sangat bersalah karena tak bisa melakukan apapun. Dia bangkit perlahan dan duduk di pinggir kasur, membuat daftar kecil diotaknya tentang apa saja yang mungkin terjadi pada cowok itu. Benturan dikepala benar-benar membuatnya tak bisa berlama-lama menegakkan kepala selama beberapa hari. Hal itu membuatnya terpaksa mengambil cuti untuk sementara waktu dari tempat kerjanya. Dihari ketiga, dia sudah bisa beraktifitas seperti biasa meskipun pusing dikepalanya belum hilang seutuhnya. Tok! Tok! Tok! Terdengar ketukan dari luar. Reflek kepala Michelle langsung memandang kearah pintu. Dalam hati dia bertanya siapa yang datang, dia beridiri perlahan dan berjalan kepintu tanpa mengeluarkan suara. “Michelle.. ada yang mau ketemu kamu nih...” Ucap suara riang dari luar, Michelle tau itu adalah suara ibu pemilik kontrakan yang selalu ceria, Bu Darni. Langkah Michelle terhenti sejengkal sebelum mendekati pintu. Siapa yang mencarinya? Itu lah yang sedang bergulat dipikirannya. Dengan sangat hati-hati dia mengintip dijendela kamarnya. Betapa terkejutnya dia ketika melihat sosok pria bertubuh tinggi dan sedikit gemuk berdiri didepan pintu bersama Bu Darni. Dia segera mengbungkam mulutnya dengan tangan ketika teriakan kaget akan keluar dari mulutnya. Dia melangkah mundur sepelan mungkin menjauhi pintu. Pikirannya kacau. Dia tak tau harus melakukan apa. Kenangan-kenangan buruk di masa lalu kembali muncul dibenaknya. Masih ingat jelas dipikirannya bagaimana cara pria tinggi dan sedikit gemuk itu menghukumnya hanya karena dia tidak terlihat senang ketika adik tirinya lahir, dia nyaris mati karena ditenggelamkan di bathup. Tubuhnya bergetar, dia sangat panik! Dia benar-benar tak mau bertemu pria yang secara biologis itu adalah ayahnya. Jalan satu-satunya adalah kabur secepatnya. Dia segera menjangkau tas kecil yang tergantung di dekat kasurnya, lalu dengan cepat dia memasukkan baju secukupnya kedalamnya. Setelah mengambil dompet dia segera masuk kedapur untuk keluar dari pintu belakang sebelum Bu Darni berinisiatif masuk menggunakan kunci cadangan. Dia membuka pintu belakang perlahan, tak terlihat siapapun disana. Dengan cepat dia keluar dan menjauh dari rumahnya secepat mungkin. Dia sudah merasa cukup tersiksa selama ini bersma ayahnya, dan dia tak mau mengalaminya lagi. Tubuhnya masih bergetar ketika dia duduk di halte bus, walaupun dia tak berniat naik bus. Dia masih tak mengerti bagaimana ayahnya bisa mengetahui tempat tinggalnya dan kenapa setelah beberapa tahun dia pergi dari rumah pria itu malah mencarinya. Sekarang selain kenangan masa lalu yang menyesakkan dadanya, pertunya juga menyiksanya karena dia lupa sejak kemarin belum makan apa-apa. Dia segera mencari warung untuk mengisi perutnya sebelum pingsan karena kelaparan. Setelah perutnya terisi, pikirannya kembali jernih. Dia memikirkan langkah selanjutnya yang akan dia lakukan. Tidak mungkin untuk sementara waktu ini dia kembali kekontrakan. “Telah dilaporkan menghilang, seorang anak pengusaha ternama di Indonesia, William Kim, pada dua hari yang lalu...” ucap pembaca berita di sebuah tv kecil yang terdapat disudut warung itu. Spontan Michelle memandang ke layar tv. Matanya melotot melihat foto yang terpampang di layar tv. Itu adalah foto cowok yang semalam diseret oleh orang-orang itu sedang tertawa sambil memegang kamera. dan ciri-ciri yang disebutkan pun sama persis. “.. ketika menghilang dia mengenakan sweater abu-abu dan jeans berwarna hitam...” Michelle semakin panik. Ternyata cowok yang bernama William itu belum pulang sejak kejadian malam itu. apa yang terjadi?? Pikirannya kembali berkecamuk. Dia segera meninggalkan warung itu sebelum ada orang yang menyadari kepanikannya. Dia tak tau harus melakukan apa dan harus pergi kemana. jadi dia memutuskan untuk mengunjungi makam ibunya. Dia berjalan diantara makam-makam yang tak terawat. Begitu juga makam ibunya. Sudah bertahun-tahun dia tak berkunjung kemari. Dia membersihkan makam itu dengan tangan, sebersih yang dia bisa. Setelah itu dia duduk di pinggir makam ibunya, dia memandangi nisan ibunya yang sudah mulai memudar. Dalam hati dia menjerit dan menceritakan semua kesedihannya. Air mata pun ikut menemaninya dalam hening. Dia mulai terisak sambil menghapus air matanya. “Michelle ngga tau harus ngelakuin apa, Ma..” ucapnya lirih. “Bantu Michelle ma.. Michelle ngga bisa menghadapi ini sendiri.” Dia mulai terisak lagi, “Maafin Michelle karena ngga bisa jadi anak yang bisa ngebanggain mama.. Michelle takut..” dia tenggelam dalam tamgis beberapa saat, “Apa yang harus Michelle lakuin ma??” “Loe harus tolong gue..” Ucap sebuah suara di sisi lain makam ibu Michelle. Michelle memandang orang yang mempunyai suara itu, dan betapa terkejutnya dia melihat William duduk di hadapannya. Dia terlonjak kebelakang dan hampir terjerembab jika tangannya tidak dengan sigap menahan tubuhnya. Matanya melotot memandang cowok yang baru saja dia lihat berita hilangnya di TV. “L.. loe??!!!” William pun tampak terkejut, dia segera melihat tangan dan tubuhnya. Lalu kembali memandang Michelle, “Loe bisa ngeliat gue??” “Loe masih hidup??” Ucap Michelle terbata-bata. William berdiri dan hendak menghampiri michelle yang masih terlihat shock, “Loe bisa ngeliat gue?!” ulangnya. Michelle berdiri dan segera menjaga jarak dengan William, “Jangan mendekat!!!” serunya. Langkah William terhenti, dia memandang Michelle yang masih ketakutan dan bingung. “Gue tau loe pasti kaget ngeliat gue, tapi please! Loe harus nolongin gue!” pintanya. Nafas Michelle terasa sesak, “Loe masih hidup? Kenapa loe ngga pulang ketempat keluarga loe? Mereka semua nyariin loe..” “iiya, gur tau..” William melangkah mendekati Michelle. “Stop! Jangan deketin gue!!!” Michele segera mundur, tangan kanannya terulur kedepan isyarat menalarang William untuk maju. “Oke! Gue ngga akan ngedekatin loe!” Ucap William, “Gue Cuma mau minta pertolongan loe!” “pertolongan gue? Buat apa? Loe tinggal pulang aja kan kerumah loe, semua orang pasti ngga akan ribut.” Ucap Michelle. “Gue udah pulang kerumah gue! Gue udah pergi kekampus! Gue udah pergi kemana pun tempat dimana orang selalu mondar-mandir. Tapi ngga ada satu pun dari mereka yang ngeliat gue!! Dengar suara gue! Atau pun ngerasain sentuhan gue!!!!” Jelas William frustasi. Michelle terkejut mendengar ucapan William, “Apa?!” “Iya.. gue kaget banget loe bisa ngeliat dan denger suara gue tadi! Please! Gue mohon bantu gue! Udah dua hari keluarga gue khawatir nyariin gue! Tapi mereka ngga tau keberadaan gue! Please! Gue mohon...” suara William terdengar memelas. Michelle masih tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, “Jadi maksud loe, loe udah meninggal?” William menunduk, lalu mamandang Michelle lemah. Dia mengangguk pelan, “Gue rasa...” Michelle semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi, “Tunggu, berarti loe ini hantu?!” “Itu nggak penting! Gue butuh bantuan loe untuk nemuin badan gue! Please! Nyokap gue khawatir banget.. dia ngga bisa melakukan apapun kecuali nangis karena gue belum ditemuin..” Ucap William lagi. Michelle berusaha mencerna kejadian itu dengan pikiran jernih, tapi begitu banyak kejutan hari ini yang membuatnya panik. “Gue mohon! Cuma loe harapan gue.. walaupun nyokap gue ngga ngeliat gue pulang dengan selamat, tapi paling ngga dia bisa ngeliat badan gue. Dia ngga akan sedih mikirin gue yang menghilang...” ucap William meyakinkan Michelle. Michelle memandang William dengan wajah menyesal, “Sorry, gue ngga bisa ngebantuin loe. Loe datang sama orang yang salah...” dia memperbaiki sandangan tasnya, lalu berjalan pergi. “Heiii! Jangan pergi!” William mengikuti Michelle. “Please tolong gue! Cuma loe yang bisa ngebantuin gue!” Michelle terus berjalan tanpa menggubris ucapan-ucapan William, meskipun hatinya sangat menyesal. Sepanjang jalan cowok itu tak henti-hentinya memohon agar dia mau manolongnya. Tapi dia hanya diam. Dan ternyata memang tak ada satu orang pun yang mendengar ucapan William kecuali dirinya. “Please!! Andai loe jadi gue, apa loe bakal biarin nyokap loe sedih setiap hari karena mengira loe menghilang...” Ucap William dengan nada memelas. Michelle tergugah karena ucapan William barusan, dia berhenti melangkah dan memikirkannya. “Itu nyokap gue!” Ucap William sambil menunjuk layar tv yang terdapat pada sebuah warung dengan tatapan matanya. Michelle memandang layar tv. Tampak seorang ibu-ibu yang masih cantik terawat menangis didepan semua media yang meliput. “Saya tidak butuh apapun kecuali putra saya, Will!! Tolong kembalikan dia!!” ucap ibu William dengan linangan air matanya. Michelle terdiam, tak tau apa yang harus dia lakukan. Dia terkejut melihat William tiba-tiba berlutut dihadapannya. Dia melihat kanan kiri, tapi tak ada yang melihat apa yang sedang dilakukan cowok itu. “Heii..” ucapnya pelan, berharap tak ada yang mendengarnya. William berdiri dengan satu lututnya dihadapan Michelle, kepalanya tertunduk. “Gue mohon!” Hati Michelle luluh melihat keteguhan William. Dia teringat almarhum ibunya, dia juga pasti tak tega jika melihat ibu yang dicintainya menangis cemas seperti itu. William mengangkat wajahnya memandang Michelle, “Apa gue perlu nyium kaki loe??” Michelle menggeleng pelan, “Oke, gue bantu loe..” Wajah William langsung berseri, dia segera berdiri dan hampir memeluk Michelle. Tapi dia sadar kalau tubuhnya sudah tak sepadat dulu hingga bisa memeluk seseorang. Dia tak tau harus bagaimana mengungkapkan rasa terima kasihnya, “Makasih banget...” Michelle mengangguk sambil tersenyum tipis, dalam hati dia bertanya-tanya apakah dia bisa membantu William. “Hmm.. nama loe siapa?” Tanya William setelah cukup lama hening ketika dia dan Michelle duduk disebuah taman permainan anak-anak yang sudah lama tidak digunakan. Michelle yang duduk sambil memeluk lututnya dibawah sebuah jembatan gantung memandang William, “Michelle.. dan nama loe William kan?” William tersenyum tipis, dia tak terkejut Michelle mengetahui namanya. Karena sejak tadi pagi fotonya sudah tersebar dilayar tv, “Ya.. loe cukup panggil gue Will...” Michelle mengangguk, lalu keadaan hening lagi. Akhirnya Will, memulai pembicaraan yang serius. “Apa loe takut ada didekat gue?” Michelle memandang Will serius, “Tadinya iya..” “Sekarang?” Tanya Will sedikit penasaran. Michelle menggeleng, “Ngga lagi. Karena loe ngga kayak hantu yang ada dicerita fiksi. Loe ngga berdarah, ngga ketawa yang nyeremin..” dia tertawa kecil saat mengatakan itu. Will tersenyum, “Ya, gue emang ngga kayak gitu..” “Oh iya, malam itu. orang-orang itu bawa loe kemana?” Tanya Michelle. Will mencoba mengingat, “Yang jelas, tempatnya pengap. Disekeliling tempat itu ada air. sekitar 5 menit dari jalan tempat kita ketemu. Gue ngga bisa ngeliat jelas karena waktu itu gelap banget!” “loe diapain sama mereka?” Tanya Michelle hati-hati. Will menatap kedua mata Michelle, terlihat kepedihan dimatanya. “seinget gue, begitu samapai disana mereka langsung nutup mata gue pake kain. Dan gue diseret lagi ngga tau kemana. Gue udah berusaha untuk ngebuka penutup mata itu, tapi tangan gue ngga bisa digerakin. Dua orang megangin tangan gue kenceng banget! Ngga lama kemudian mereka mendorong gue dan gue jatoh. Setelah itu gue ngga tau apa-apa lagi. Waktu gue sadar, gue ada kamar gue. Tapi ngga ada seorang pun yang menyadari kehadiran gue.” Jelasnya. “Dan jatuh itu yang menyebabkan loe meninggal?” Tanya Michelle memperjelas. “Gue rasa..” Ucap Will. “Apa loe kenal siapa mereka?” Tanya Michelle lagi. “Sama sekali ngga. Tiba-tiba aja mereka muncul waktu gue sedang dalam perjalan pulang dari tempat kursus musik, mereka langsung nyeret gue masuk kemobil.” Jelas Will lagi. Michelle memikirkan semua informasi dari Will, mencoba menemukan petunjuk dari informasi-informasi itu. tiba-tiba dia teringat sesuatu, “tempat yang disekitarnya air?” gumamnya sambil mengingat. Will memperhatikan Michelle. “Apa tempat yang loe maksud itu kayak gedung tua yang disekitarnya danau?” Tanya Michelle. Will mencoba mengingat, “Gue gak tau pasti apa disekitarnya danau atau kolam, atau apapun itu. tapi gedungnya emang keliatan tua banget!” “Kayaknya gue tau tempat yang loe maksud! Ayo!” Michelle segera berdiri dan melangkah cepat menuju tempat yang dimaksud Will itu. Will segera mengikuti Michelle. Dia benar-benar berharap pada bantuan gadis berambut panjang itu. *** Michelle mengendap-endap dibalik pohon besar sambil memperhatikan sebuah gedung tua yang lumayan jauh dari tempatnya berdiri, Will tak perlu repot-repot bersembunyi seperti dirinya. “Apa gedung itu yang loe maksud?” Tanya Michelle setengah berbisik. Will memperhatikan gedung itu, disekitarnya memang terdapat danau. “Iya, gue yakin ini gedungnya..” Angin lembut meniup rambut Michelle yang dibiarkan lepas, bekas perban dikepalanya masih terlihat bersih. “Gue harus masuk untuk ngeliat apa ada petunjuk tentang tubuh loe..” “Maksud loe, kita?” Will menjelaskan maksudnya. Michelle memandang Will sesaat, “Oke, kita harus masuk untuk ngeliat apa ada petunjuk tentang tubuh loe..” ulangnya. Will tersenyum tipis, “Oke, kita masuk sekarang..” Michelle melangkah keluar dari balik pohon dan melangkah pelan kearah gedung. Dia berusaha terlihat biasa saja agar tidak ada yang curiga, walaupun tak ada satu orang pun yang terlihat berada disekitarnya. Will berjalan disisinya dengan harapan yang membumbung tinggi. Gedung itu sama sekali tak ada yang menjaga atau tanda-tanda ada orang yang pernah kesana. Hampir disetiap permukaan dinding bagian luar penuh dengan coretan cat pilox dan arang. Kondisi gedung itu juga tak memungkinkan jika ada yang tinggal disana. Mereka berhenti didepan gedung sambil melihat situasi. “sepi banget! Kayaknya ngga ada orang..” Ucap Michelle. “Jangan terlalu cepat mennyimpulkan.. kita belum tau apa yang tersembunyi didalamnya...” Ucap Will mengingatkan. Michelle mengangguk, dia membetulkan posisi tas dan melangkah perlahan memasuki gedung yang pintunya sudah tidak jelas seperti apa bentuknya. Tanpa mengeluarkan suara dia melewati pintu. Lantai didalam gedung dipenuhi dedaunan kering yang terbawa angin dari depan gedung. Suasana didalam gedung terasa sedikit mencekam. Kondisi diruang pertama dan kedua sama, tak ada tanda-tanda ada orang disana. “Diruangan ini mata gue ditutup dan diseret ngga tau kearah mana...” Ucap Will ketika mereka masuk ke ruang ketiga. Michelle berhenti sejenak memperhatikan sekitar. Ruangan itu terlihat biasa saja, masih dengan sampah dedaunan kering yang berserakan dilantai. Tapi tidak sebanyak di ruangan sebelumnya. Matanya melihat sesuatu yang terselip diantara dedaunan. Hati-hati dia menyibakkan dedaunan itu dan menemukan sebuah handphone berwarna hitam dengan sedikit gores dipinggirnya. “Handphone gue!” seru Will. “Handphone loe mati..” Ucap Michelle, lalu memandang Will. “Emang selalu gue matiin waktu kursus.. gue belum sempat ngaktifin lagi karena mereka keburu dateng. Mungkin handphone gue jatoh waktu mereka ngedorong gue disini..” Jelas Will. “Hei!!” seru seseorang di belakang Michelle. Michelle terkejut dan langsung memandang kebelakang, dia terkejut melihat seorang pria bertubuh besar berdiri di pintu masuk. “Lari!!!” Teriak Will panik. Michelle segera berlari kedalam gedung untuk menghindari orang tadi. “HEI! Jangan lari loe!!!!” pria tadi segera mengejar Michelle. Michelle berlari sekencang mungkin, masuk ke ruangan satu dan lainnya. Dalam hati dia berharap tidak ada pria besar lainnya didalam gedung. Dia sangat panik. “Michelle! Di balik kardus-kardus itu!” Seru Will sambil menunjuk tumpukan kardus disudut ruangan. Michelle tak sanggup berlari lagi, dia mengikuti saran Will dan segera bersembunyi dibalik kardus itu. nafasnya terengah-engah. Dia duduk dibelakang tumpukan kardus itu sambil mengatur nafas dan memasang pendengarannya dengan baik. “Dia kesini! Jangan bersuara!” Ucap Will dari pintu masuk ruangan itu. Michelle langsung menahan dirinya agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Tak lama terdengar suara langkah berat memasuki ruangan itu. jantung Michelle berdegup kencang, dia benar-benar panik. Dia menutup mulut dan memejamkan matanya. Suasana hening sejenak, lalu terdengar langkah berat itu mendekati tempatnya bersembunyi. Tiba-tiba terdengar suara musik yang ternyata berasal dari handphone pria itu, dia hampir saja berteriak karena kaget. Pria itu segera mengangkat panggilan di handphone-nya, “Hallo bos..” dia diam sejenak, “Tenang bos, ngga ada yang tau tentang anak itu... tenang bos, anak itu masih berada di dalam lubang itu. Iya, bos.. Besok akan segera saya pindahkan ke tebing didekat gedung ini.. Lapor bos, ada penyusup ke gedung ini.. Tapi akan segera saya bereskan! Baik..” dan pembiacaraan itu selesai. Terdengar langkah berat itu menjauh pergi. “Dia udah pergi.” Ucap Will tak lama kemudian. Michelle menghela nafas lega sambil mengurut dadanya. Dia bangkit perlahan sambil memperhatikan sekitar, memang sudah tidak ada pria tadi. “Kita harus segera pergi dari sini!” ucapnya pelan. Will mengangguk, “Ayo!” Ketika hendak melangkah keluar dari belakang tumpukan kardus itu, tangannya tak sengaja menyenggol sebuah kardus yang menyebabkan tutupnya terbuka. Dia terkejut melihat sebuah senjata api laras pendek tergeletak di dalam kardus diatas daun-daun kering. “Ini... ganja..” Ucap Will mengenali daun itu. “Hah?” Michelle memandang Will tak percaya. Dia sekarang sedang berhadapan dengan pengedar ganja yang sejak beberapa bulan lalu mulai dibicarakan oleh tetangga dan orang-orang disekitar rumahnya. “Ayo pergi!” dia melangkah menuju pintu. “Tunggu! loe pasti butuh ini.” Will menunjuk senjata api tadi. Michelle memandang Will tak mengerti, “pistol? Buat apa?” “Michelle! Salah satu dari mereka udah ngeliat loe ada ditempat mereka, ngga mungkin mereka ngebiarin loe gitu aja. Loe butuh perlindungan diri..” Ucap Will mengingatkan. Michelle mengerti maksud Will dan setuju akan hal itu, dia segera mengambil senjata api itu dan memasukkannya kedalam tas. “Kita pergi sekarang!” “Ayo, lewat jendela! Loe ngga mungkin keluar lewat depan lagi.” Ucap Will sambil menunjuk jendela yang tepat berada dihadapan pintu tempat mereka berdiri. Michelle mengangguk, dia segera melangkah kejendela, lalu membuka jendela perlahan. Untung jendela itu tidak macet atau sebagainya, namun jendela itu tidak bisa terbuka lebar. Dia menjulurkan kakinya keluar dan berusaha menyelipkan tubuhnya secepat mungkin. Tiba-tiba dia medengar langkah berat tadi mendekat. “Cepat! Dia balik lagi!” seru Will. Ucapan Will membuat Michelle semakin tegang, dia berusaha sekuat tenaga mendorong tubuhnya keluar melalui jendela. Akhirnya dia berhasil keluar dan segera berlari tepat ketika pria besar tadi melihatnya berada keluar dari jendela. “Woooi!! Berhenti LOE!” seru pria tadi. “Ayo Michelle! Jangan berhenti! Jangan liat kebelakang!” Ucap Will. Michelle terus berlari. Terdengar suara tembakan dari gedung tadi. Beruntung peluru-peluru itu tidak mengenainya, hanya sempat nyaris melukai tubuhnya jika dia tidak terpeleset dan terjatuh sesaat hingga peluru itu mengenai pohon besar di sebelahnya. Dia tak membuangkan waktu untuk berlari lagi. Tanpa disadari dia sudah berlari sampai ke jalan dimana dia melihat Will diseret oleh orang bertubuh besar itu, yang berarti dekat dengan rumah kontrakannya. Dia berhenti sejenak untuk menghela nafas sambil memandang kebelakang, pria bertubuh besar tadi tak terlihat lagi. “Michelle! Michelle!” Panggil seseorang dari arah belakang Michelle. Michelle memandang kearah belakang, matanya membesar melihat seorang pria yang tadi pagi membuatnya lari dari kontrakan. “Itu siapa?” Tanya Will heran. “Bokap gue!” Ucap Michelle pelan, lalu langsung berlari melarikan diri lagi. “Lho, kenapa loe kabur?” Will mengikuti Michelle. *** “Oh.. jadi gitu?” Ucap Will setelah mendengar alasan Michelle kenapa kabur dari ayahnya tadi. Michelle menunduk memandangi jemarinya. Dia dan Will berada dibawah sebuah terowongan yang sering dia datangi ketika merasa tak mempunyai tempat untuk sendiri. Hari sudah gelap, hujan turun perlahan membasahi bumi. Dia memandangi rintik-rintik hujan yang turun semakin deras sambil memeluk kedua kakinya. Udara malam yang dingin mulai menusuk kulitnya. Berkali-kali dia merapatkan jaket. “Tapi kenapa loe kabur? Mungkin aja bokap loe dateng untuk minta maaf karena dia udah menyadari kesalahannya atau mau menyampaikan hal penting lainnya..” Ucap Will. Michelle memandang Will, “Hmm.. kemungkinan itu Cuma 5% akan terjadi..” ucapnya, “Loe ngga pernah tau gimana dia udah nyakitin gue. Bukan hanya hati gue. Tapi seluruh masa depan gue..” “Michelle, 5% tetap saja peluang..” Ucap Will. “5% itu sangat kecil! Gue ngga mau mengambil resiko hanya untuk 5%..” Ucap Michelle. “Bukan hanya 5%.. Tapi kamu masih mempunyai 5% kan..” Ucap Will. Secara tidak langsung dia ingin memberi motivasi pada gadis muda itu. Michelle senang mendengar ucapan Will, paling tidak ada yang menghibur hatinya saat ini. “Umur loe berapa?” Tanya Will. “17.. kenapa?” Tanya Michelle penasaran. Will agak terkejut mendengar jawaban Michelle, “Waktu gue ketemua loe di toko kaset sekitar jam 10 pagi, seharusnya jam segitu loe ada di sekolah kan?” Tanyanya. Michelle mengerti maksud Will, “Hmm.. memang seharusnya begitu. Tapi bagaimana gue bisa sekolah kalau setiap hari gue harus bekerja untuk menghidupi diri sendiri?” “Jadi, setelah loe kabur, loe ngga tinggal sama sauadra atau siapa gitu?” Tanya Will lagi. “Ngga, gue ngga punya siapa-siapa selain nyokap bokap gue. Gue ngga kenal siapa pun yang bisa menolong gue. Setelah kabur dari rumah, gue berusaha mati-matian melanjutkan hidup sendirian. Setahun sebelum gue dapet kerja tetap dan bisa nyewa kontrakan, gue tidur di mana aja. Gue kerja apa aja. Dan suatu hari ketika semuanya terlalu berat, gue hampir..” Michelle menahan kata-katanya. Will menunggu kata-kata selanjutnya, dia memposisikan dirinya sebagai pendengar yang baik. Dia bisa melihat kedua bola mata Michelle berkaca-kaca. Michelle menyibakan poninya yang menutupi wajah, lalu memandang Will dengan wajah tegarnya. “Gue hampir tergoda untuk menjadi pelacur. Karena gua ngga bisa ngelakuin apapun selain menjual diri.” Will tampak tak percaya, dia memandang Michelle dari atas kebawah. “Maksud loe, loe udah ngga....” Dia tak melanjutkan ucapannya. “Tentu aja masih!” Seru Michelle, “Gue bilang HAMPIR!!” Will lega mendengar itu, dia kembali diam dan mendengarkan. “Tapi ingatan tentang almarhum nyokap menyadarkan gue. Kalau gue masih punya tangan, gue masih punya kaki.. So, gue bisa berusaha dengan cara yang baik. Gue ngga mau suatu saat orang-orang ingat tentang gue sebagai pelacur yang udah menghancurkan rumah tangganya, atau lebih buruk dari itu. dengan usaha gue, akhirnya gue dapet pekerjaan di toko kaset itu..” Cerita Michelle, sekaligus mengklarifikasi ucapannya tadi. Will mengangguk mengerti. Dia memandang Michelle kagum, tak menyangka gadis semuda itu telah mengalami hidup seberat itu. sedangkan dia tidak pernah merasa menderita seumur hidupnya. “Loe tau, sekarang umur loe masih 17. Tapi loe udah ngalamin hal yang seharusnya loe rasain mungkin setelah umur 25. Gue salut loe bisa melewati ini semua.” Michelle tersenyum tipis. Tak tau harus tersanjung atau sedih manyadari kehidupannya yang menyedihkan. “Loe tau, sejak lahir. Gue ngga pernah kekurangan apapun. Dan gue bukan orang yang selalu meminta pada orang tua walaupun gue bisa. Sejak kecil nenek gue selalu mengajarkan untuk berusaha sendiri, tapi sekeras apapun gue berusaha, gue tetep aja menggunakan apa yang udah ortu gue kasih. Tapi gue ngga pernah ngerasa semua itu salah, karena gue anak mereka dan wajar mereka memenuhi kebutuhan gue. Teman-teman gue juga ngelakuin itu, jadi kenapa gua ngga? Tapi, setelah gue ketemu loe. Walaupun kondisi gue bukan sebagai orang hidup, gue ngerasa malu banget! Gue malu pada diri gue sendiri. Bulan depan gue pas 19 tahun, tapi apa yang idah gue perbuat untuk diri gue sendiri? Ngga ada! Sedangkan loe yang lebih muda dari gue udah bisa menghidupi diri loe sendiri..” sorot mata Will menunjukkan dia benar-benar rasa salutnya. Michelle memandang Will sejenak. Lalu dia berkata, “Pernah suatu hari, sehari sebelum gue kabur dari rumah, gue mikir. Kenapa gue ngga terlahir sebagai anak orang kaya yang mempunyai segalanya, kenapa gue ngga terlahir dikeluarga harmonis yang saling menyayangi. Gue nangis sepanjang malam sampai mata gue bengkak. Tapi gue ngga pernah mendapatkan jawaban itu. setelah gue mengalami hal yang lebih berat dari itu, gue baru mendapatkan jawabannya...” dia diam sejenak menunggu tanggapan Will. “Apa?” tanya Will. “Gue ngga terlahir sebagai anak orang kaya bukan karena gue ditakdirkan miskin. Gue ngga terlahir dikeluarga yang harmonis bukan karena gue mempunyai ayah yang kasar. Tapi karena gue diberi pelajaran tentang hidup yang sesungguhnya. Dimana gue harus berkerja keras untuk memperbaiki hidup gue agar tidak terjadi lagi untuk keluarga gue nanti.. gue bisa belajar bagaimana caranya menjalani hidup yang keras sebelum gue tiba-tiba menemui itu..” Ucap Michelle dengan senyum optimisnya. Will benar-benar tak menyangka kata-kata sedewasa itu akan keluar dari bibir mungil gadis itu. “Michelle, loe bisa nebak apa yang gue pikirin?” Dahi Michelle berkerut, “Gimana gue bisa? Gue bukan peramal..” Will tersenyum tipis, “Gue mikir.. Kalau aja sekarang kita mengobrol dalam keadaan normal..” Michelle hanya diam, dia memalingkan wajahnya memandang hujan. Sebenarnya dia ingin menyembunyikan matanya yang mulai berair. Belum ada orang yang benar-benar menghargai keberadaan dirinya setelah ibunya meninggal. “Dan Michelle..” Panggil Will. “Hmm..” Gumam Michelle tanpa memandang Will. “Gue berharap, loe akan hidup bahagia. Benar-benar bahagia. ngga perlu lagi lari dari apapun. Dan suatu hari nanti loe akan meninggal dengan senyuman diwajah loe di kasur yang hangat, dikelilingi orang-orang yang menyayangi loe.” Ucap Will lembut. Michelle menghela nafasnya yang mulai berat, air mata menitik satu persatu. Namun dia segera menghapusnya, tak ingin Will menyadarinya. Meskipun Michelle mencoba menyembunyikan wajahnya, Will dapat merasakan apa yang dirasakan oleh gadis manis itu. tangannya bergerak menyentuh rambut gadis itu. Berusaha untuk membelainya, tapi dia tak bisa menyentuh gadis itu. semua ini membuatnya hampir gila. Menjadi hantu yang bergentayangan mencari tubuhnya, itu akan menarik jika berada di sebuah film. Tapi dia tak senang jika mengalaminya. Dia memikirkan pembicaraan lain untuk melewati suasana, dan dia teringat ucapan pria tadi ditelpon. “Michelle, apa menurut loe, yang dimaksud orang tadi dengan ‘anak itu’. itu gue?” Michelle membersihkan sisa air mata dan memandang Will, “Gue rasa. Karena apa mereka akan menyulik banyak anak dalam waktu yang bersamaan?” “Gue rasa juga begitu. Tapi, lubang apa yang mereka maksud?” Tanya Will. Michelle berpikir sebentar, “Gue ngga begitu tau. Tapi gue rasa gue tau dimana tebing yang dia bicarain...” “So, besok loe mau nyoba ke jurang itu?” Tanya Will. “Hmm.. sepertinya..” Ucap Michelle. Will cukup puas mendengar ucapan Michelle. Dan pembicaraan selesai. *** “Loe yakin mau ke gedung itu lagi?” Tanya Will ketika dia dan Michelle mengendap-endap dibalik sebuah pohon sambil memperhatikan gedung kemarin. “Iya, karena kita ngga tau apa tubuh loe udah dipindahin atau belum sama mereka.” Ucap Michelle sambil memperhatikan gedung itu. Didepan gedung berdiri dua orang pria bertubuh besar dengan baju serba hitam disebelah sebuah mobil yang juga berwarna hitam. Mereka tampak sedang membicarakan sesuatu yang penting. Dari jauh Michelle bisa mengenali salah seorang pria yang berdiri disana adalah pria yang hampir menangkap dan menembaknya kemarin. Dia harus lebih berhati-hati. Tiba-tiba mata pria kemarin itu menyapu pepohonan dan tampak terkejut melihat pohon tempatnya bersembunyi, jantung Michelle sempat berdegup kencang. Dia takut jika ketahuan. Tapi ternyata pria itu tampak tidak curiga, dia melanjutkan pembicaraan. Beberapa saat kemudian, pria yang kemarin pergi meninggalkan temannya. Lama Michelle menunggu pria kedua ikut pergi, hingga dia bisa kembali menyelinap kedalam gedung. “Michelle...” Panggil Will sambil memandangi kedua tangannya. Michelle memandang Will, matanya langsung melotot melihat tubuh Will yang mulai menghilang. “Will, loe kenapa?” Bisiknya panik. Will menggeleng, “Ngga tau, gue bener-bener ngga tau.. kenapa bisa gini??” semakin lama tubuh Will menghilang hingga tak ada yang tersisa. “Will? Will!!” Panggil Michelle. Tapi Will tak pernah muncul kembali, dia memandang kesekeliling. Namun ketika memandang kebelakang, betapa terkejutnya dia ketika menyadari pria yang kemarin sudah berdiri dibelakangnya. “Apa kabar nona?” ucap pria itu sambil tersenyum sinis. Michelle berbalik dan mencoba kabur, tapi pria itu dengan cepat menarik lengan dan menjambak rambutnya. Dia tak bisa berkutik lagi. “Mau kemana nona manis? Apa loe ngga mau main sama gue dulu?” Tanya Pria itu sambil tertawa. “Lepasin! Awww!!! Sakit!” jeritnya ketika pria itu menarik rambutnya terlalu keras. Pria kedua muncul dari balik pohon, “Jangan buang-buang waktu, bawa dia dan masukkan ketempat bocah ingusan kemarin! Kita ngga mungkin ngelepasin dia!” “Ayo ikut!!” Seru pria tadi sambil menyeret tubuh Michelle kedalam gedung. “AAWW!! Sakit!!” Michelle terus memberontak, tapi semakin dia berontak, pria itu semakin erat memegang lengannya. Akhirnya dia tak bisa melakukan apapun selain mengikuti dua pria itu. “Langsung aja bawa dia ke tempat anak itu!!” Perintah pria kedua. Maksudnya Will? Batin Michelle. “Baik bos..” Ucap pria tadi. Michelle malah tak sabar ingin segera bertemu dengan tubuh Will, meskipun dia masih tak mengerti mengapa tiba-tiba arwah Will menghilang. Dia berpura-pura memberontak agar mereka tak ragu untuk membawanya ketempat tubuh Will. Tapi hal itu malah membuat tasnya terjatuh, dan.. PLAKKK!!! Pria besar itu menampar Michelle hingga sudut bibirnya pecah dan menyeluarkan darah. Gadis itu tak bisa memberontak lagi. Semuanya terasa seperti berputar. Pria itu membawa Michelle melewati hutan-hutan di sebelah gedung. Tak lama kemudian pria itu berhenti dan meraba-raba tanah yang ditutupi dedaunan kering, lalu dia menarik sesuatu yang ternyata pintu rahasia. Dengan satu tangan dia mendorong tubuh Michelle kedalam lubang dibalik pintu itu. DUAAKK!! Tubuh Michelle membentur permukaan keras. Tubuhnya terasa remuk. Sepertinya jarak dari dasar lubang ini dengan permukaannya sangat jauh. Dia tak bisa menggerakkan tubuhnya untuk beberapa saat, dia hanya bisa terbaring kaku dipermukaan curam dan dingin itu. semuanya gelap, apalagi setelah pria itu menutup pintu tadi dengan keras. Tapi setelah beberapa saat, ternyata tak segelap awalnya, dia hanya perlu membiarkan pupil matanya terbiasa dengan gelap. Dan semuanya terlihat jelas walaupun seperti melihat dalam ruangan berlampu 5 watt. Setelah memastikan tak ada tubuhnya yang patah, dia perlahan bergerak bangkit. Ketika melihat kesamping kanan, dia melihat sesosok tubuh tergelak tak bergerak. “Will??!!!” dia berusaha secepat mungkin untuk mendekati tubuh Will. Kondisi Will sangat memperhatinkan, terdapat beberapa lebam diwajahnya. Tubuh altletis yang terbalut sweater abu-abu itu terkuali lemah tak berdaya. Dia benar-benar tak tega melihat kondisi cowok itu. dia membuka penutup matanya perlahan, tak ada respon dari Will. Tiba-tiba terdengar langkah besar dari atas, dan pintu diatas kepalanya terbuka. Dia segera berbaring dan berpura-pura pingsan. Ketika itu dia baru menyadari kalau ada sebuah tangga yang menempel di dinding. Terdengar suara dua orang pria yang saling berkomunikasi, setelah itu seorang dari mereka turun. Jantungnya berdegap kencang, berharap tak terjadi apa-apa pada dirinya. Dia merasakan langkah besar melewati pinggangnya. Dia mengintip dari celah matanya, pria itu mengangkat tubuh Will dengan susah payah. “Duhh.. kayaknya mati beneran nih bocah!” Ucap pria itu pada temannya setengah berteriak. “Biarin aja! Kan lebih gampang ngebuangnya..” Ucap pria yang diatas lubang santai. “Serius loe? Trus, nih cewek mau diapain?” Tanya pria pertama tadi lagi. “Udah, ngga usah dipikirin. Biarin aja dia membusuk disini...” Ucap pria kedua, lalu melemparkan seutas tali kebawah. Pria pertama mengikatkan tubuh Will pada tali dan membiarkannya naik keatas, lalu dia naik melalui tangga. Tak lama kemudian terdengar bantingan pintu dan semua kembali gelap. Michelle membuka matanya perlahan, dia segera bangkit dan meraba-raba mencari tangga tadi. Dengan hati-hati dia memanjat tangga. setelah tiba di puncak tangga, dia berusaha membuka pintu dengan kepala dan sebelah tangan. Bersyukur pintu itu tidak dikunci atau di tahan oleh apapun. Dia segera keluar dari lubang dengan hati-hati. Ketika itu dia baru menyadari tangan dan kakinya lecet di beberapa tempat. Setelah memastikan lingkungan aman, dia melangkah cepat keluar dari hutan. Will pasti sudah dibawa ke jurang itu, tapi dia tak mungkin datang kesana dengan tangan kosong. Jadi dia memutuskan untuk kembali ke gedung tua itu untuk mengambil tas, itu pun jika para pria itu tidak membuang tasnya. Dia melangkah perlahan menuju gedung tua sambil menahan sakit dri kakinya. Dia bersembunyi dibalik sebuah pohon sambil memperhatikan keadaan gedung, tak terlihat ada orang disana. Sepertinya kedua orang tadi tidak ada, dia segera melangkah masuk ke gedung dan mencari tasnya. Ternyata tas berwarna hitam itu masih berada di tempat ketika dia jatuh. Dengan cepat dia membuka tas dan mengluarkan pistol serta handphone Will. Sambil melirik kanan dan kiri dia memasukkan handphone Will ke saku celana, lalu berjalan keluar dengan memegang pistol. Meskipun tak pernah menggunakannya, tapi dia sudah biasa melihat dalam adegan di film. Paling tidak dia tahu bagaimana cara untuk menggunakannya. Dia menelusuri hutan sambil tetap was-was. Dengan sigap dia segera bersembunyi di balik sebuah pohon ketika melihat dua orang pria besar tadi diujung jalan. “Si bos aneh banget! Ngapain ngebiarin tuh bocah disana. Tinggal di lempar ke jurang kan beres, gak ada bukti lagi kalau kita yang udah nyulik dia.” Ucap Seorang pria ketika berlalu. “Iya, kalau gini ceritanya keburu ketangkep kita..” Ucap yang satu lagi. Michelle lega mendengar itu, berarti tubuh Will belum dibuang kejurang, dia harus bergerak cepat agar tidak terlambat. Dia segera menyelinap diantara pohon menuju pinggir jurang. Jurang itu sangat dalam, jika terjatuh kedalam mungkin akan langsung mati. Dari kejauhan dia bisa melihat tubuh Will yang tergeletak beberapa inci dari pinggir jurang. Disana hanya 1 orang yang berdiri memandang kearah langit-langit jurang, pria bertubuh atletis itu terlihat sangat tenang sambil memasukkan kedua tangannya disaku. Dari belakang pria itu terlihat familiar dimatanya. Dia menggenggam erat pistol sambil berjalan mendekati pria itu. “Kenapa loe nyulik Will??” Tanya Michelle pelan. Cowok itu tak terlihat kaget mendengar suara Michelle. Dia berbalik pelan dan memandang gadis itu. Michelle terkejut melihat pria itu. pria yang tak asing dimatanya. Kevin, bosnya di toko kaset. Dia memandang cowok itu tak percaya, “Kevin?” Kevin tersenyum, “Hei Michelle, datang untuk melihat-lihat?” Michelle benar-benar tak percaya Kevin ada dibalik penculikan Will, seseorang yang menurutnya ramah dan hangat. “Kevin, loe bos orang-orang itu??” Kevin tersenyum bangga, seperti seorang anak kecil yang baru saja menjuarai sebuah perlombaan. “Ya.. keren kan..” nada bicaranya masih seperti biasa, sangat akrab dan suka membuat beberapa lelucon. “Tapi kenapa?” Tanya Michelle. Kevin mengeluarkan kedua tangannya dari saku dan melipatny didada, “Hmm.. tentu ada alasan kan..” “Apa alasannya? Kenapa loe nyulik Will? Salah dia apa?” Tanya Michelle lagi. Kevin memandang Michelle lembut, “Michelle, terkadang kita harus berpura-pura tidak tau agar selamat.. Loe ngerti kan maksud gue?” Michelle mengerti, Kevin memeintanya untuk tetap diam dan tidak ikut campur. Dia memandang tubuh Will. “Michelle, loe udah masuk terlalu dalam. Jadi gue mohon jangan melangkah lagi, segera mundur dan hidup seperti biasa. Loe tau, gue ngga bisa ngeliat cewek manis kayak loe terluka..” “Kevin, gue datang kesini untuk membawa tubuh Will!!” Seru Michelle. Kevin tak terkejut, malah terlihat kagum. “Wow, loe tau namanya..” “Kevin, berhenti bercanda! Loe harus bawa Will pulang! Loe tau kan betapa besarnya berita tentang penculikan Will! Apalagi loe udah ngebunuh dia..” Ucap Michelle. Kevin memandang Will, “Sepertinya loe ngga akan ngebiarin semua ini berlalu begitu aja..” dia melirik Michelle, “Ya kan?” “tentu aja! Loe bisa dipenjara karena udah ngebunuh orang!!” seru Michelle. Kevin tertawa kecil, “Ya, memang.. gue pasti di penjara lama banget karena udah ngebunuh orang dengan sengaja. Tapi itu kan kalau ada yang tau gue dalangnya, kalau ngga ada? Gue bebas kan?” Jantung Michelle berdegup kencang, perasaannya mulai tidak enak. Kevin sudah mengancamnya. Dia memperat genggamannya pada pistol. Perlahan Kevin melepas lipatan tangannya, tangan kanannya bergerak mengambil sesuatu dibalik bajunya. Ternyata senjata api laras pendek dengan peredam suara. Michelle segera mengcungkan senjatanya kearah Kevin sebelum kalah langkah. Mata Kevin membesar kagum, “Wow! Reflek yang bagus.. Loe bisa masuk ke kelompok penembak pribadi gue kalau loe mau..” “Kevin! Gue ngga tau apa alasan loe menculik Will, tapi apa yang loe lakuin ini salah!!” Ucap Michelle berusaha menyadarkan Kevin. “Loe mau tau alasannya?” Kevin memandang langit dan menjawab sebelum Michelle bicara. “Karena gue juga anak dari seorang pengusaha Jonathan Kim! Seharusnya nama gue adalah Kevin Kim..” Dahi Michelle berkerut, “Apa??!” “Dan loe tau semuanya.. Gue anak dari dari bokap sebelum dia nikah dengan nyokapnya. Dan loe tau, gue sama nyokap gue dibuang gitu aja sama dia. Setelah itu nyokap gue bunuh diri, dan tinggal gue yang harus hidup sendiri ditengah cacian dan makian orang-orang. Hingga akhirnya gue berhasil ngebuka toko kaset. Hidup gue mulai teratur...” Cerita Kevin. Semuanya mulai terlihat terang bagi Michelle, “Jadi karena itu loe dengan gampang nerima gue untuk kerja di toko loe? Karena nasib kita sama??!!” “Yup! Betul banget! Baik banget kan gue, woow..” Kevin tertawa manis. Pasti tak akan ada yang menyangka disa telah melakukan semua ini jika melihat wajahnya. “Tapi Kevin, apa gunanya loe ngebunuh Will? Dia ngga tau apa-apa.” Ucap Michelle. “Will memang ngga tau apa-apa.. Tapi bokapnya kan tau, so gue mau bikin bokapnya, atau bokep gue, ngerasain gimana harapannya hancur seketika!” ucap kevin. Air mata Michelle menetes, dia dapat merasakan kepedihan yg dirasakan Kevin meskipun dia memamerkan senyum manisnya. “Kevin, sekarang udah selesai kan? Ngga ada gunanya loe buang Will kejurang..” Kevin tertawa kecil, “Jadi loe belum ngerti?” Michelle memandang Kevin tak mengerti. “Will belum mati!” Ucap Kevin santai. Michelle terkejut, “Hah?!!” dia memandang tubuh Will, terlihat seperti mayat. “Dan Michelle, gue rasa loe mau mati disini sama adek TIRI gue..” Kevin mengangkat pistolnya dan menarik pelatuknya. Disaat yang bersamaan Michelle juga melakukan hal yang sama. Dor!!! Terdengar letusan besar, dari kedua pistol. “Ahkkk!!!” Michelle memegang perut sebelah kirinya yang tertembus peluru, darah mengalir deras dari luka itu. “Ahkkk!!!” Kevin tak sempat memegang bahunya ketika dorongan peluru dari pistol Michelle mendorong tubuhnya kebelakang, dia tak mampu melawan gravitasi bumi hingga terjatuh ke jurang. Michelle terjerembab ketanah, perutnya terasa sangat nyeri. Dia menyeret tubuhnya mendekati Will. Dengan tangan berlumuran darah dia memegang dada Will, ternyata benar jantungnya masih berdetak walaupun lemah. Nafasnya mulai terengah-engah, darah dari perutnya mengalir seperti mata air. Kakinya mulai mati rasa. Dia segera mengeluarkan handphone Will dan mengaktifkannya sebelum dia kehilangan kesadarannya, dia mencari dikontak panggilan. Akhirnya dia menemukan kontak ibu Will. Segera dia memanggil kontak itu. “Hallo! Will! Kamu dimana?” Ucap suara perempuan diseberang sana. Michelle mengumpulkan semua suaranya yang tersisa, “Will sekarat.. segera datang!” dia meletakkan handphone Will di tanah, suaranya tak sanggup keluar lagi. Mereka tentu bisa menemukan Will melalui GPS dari handphone Will. Dia berbaring disebelah tubuh Will sambil menahan darah yang terus keluar dari perutnya. Dia memandang wajah Will yang hanya beberapa senti dari wajahnya. Dia tak takut mati, juga tidak marah ini harus terjadi. Dia senang bisa membantu Will, pria yang dalam beberapa jam dapat mencuri hatinya. *** Semuanya terasa tenang. Perlahan terdengar sedikit kebisingan yang tak mengganggu. Udara segar terus mengalir dihidungnya. Nahkan dia bisa mendengarkan denyut jantungnya sendiri, sekelebat cahaya menerobos kecelah matanya. Michelle membuka matanya perlahan, pandangannya buram. Terlihat seorang pria yang mendekat kesisinya, tapi dia tak tau itu siapa. Terdengar pria itu berbicara, tapi tak terdengar jelas. Beberapa saat kemudian, semua indranya sudah berfungsi baik. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa pria itu adalah ayahnya. “Michelle, kamu udah ngga apa-apa?” Ucap ayah Michelle cemas. Michelle tak percaya meilhat ayahnya berbicara selembut itu padanya, dia mencoba untuk memberontak. Tapi dia tak bisa banyak bergerak karena nyeri diperutnya. Ketika itu dia menyadari dia berada di rumah sakit. “Michelle! Tenang! Papa tau kamu masih marah sama papa.. tapi papa datang kesini untuk meminta maaf atas segalanya. Papa berusaha untuk mencari kamu setelah kamu kabur dari rumah, tapi baru beberapa bulan lalu papa mengertahui dimana kamu bekerja. Papa mencari kamu ketempat kamu kerja, ditoko kaset itu. bos kamu memberi tahu papa alamat kontrakan kamu. Tapi kamu malah kabur lagi ketika papa datang.. Papa mohon, maafin papa. Papa benar-benar menyesal..” Ucap ayah Michelle dengan linangan air mata. Michelle teringat ucapan Will ketika mereka istirahat dibawah jembatan. Air matanya mengalir mengingat itu. tapi, dimana Will? “Will mana?” tanyanya pelan. Dahi ayah Michelle berkerut, “Will? Cowok yang sama kamu di dekat jurang itu? dia ada di ruang ICU juga. Dua atau tiga kamar dari sini...” Michelle lega mendengar ucapan ayahnya, berarti Will masih hidup. Dia meraba perut sebelah kirinya. Masih teringat betapa sakitnya ketika peluru dari senjata api Kevin menembusnya, dia memandang ayahnya, “Kevin?” Ayah Michelle tampak enggan menjawab, lalu menggeleng pelan. Menandakan Kevin tidak selamat dari ketinggian tebing itu. Michelle sedih mendengar itu. Kevin memiliki nasib yang sama dengannya. Ayah Michelle memegang punggung tangan putrinya, “Michelle, papa ngga mau kamu hidup sepreti ini lagi. Kamu mau kembali pulang bersama papa? Mama kamu khawatir sekali dengan kamu, dia tidak pernah sekali pun melupakan kalau kamu tidak ada dirumah..” Mama? Michelle menarik tangannya, “Maksud papa tante Regina?” Ayah Michelle mengangguk pelan, dia kembali mendapat tatapan tajam dari putri semata wayangnya. Michelle memalingkan wajahnya, dia masih belum bisa menerima perlakuan ayahnya setelah adik tirinya lahir. “Ngga perlu! Aku bisa mengurus hidup aku sendiri! Papa bisa urus anak baru papa itu!” ucapnya ketus. “Michelle?!” ayah Michelle menatap Michelle, “Itu adik kamu, namanya Amara..” “Aku ngga peeduli!!” Air mata Michelle mulai mengalir dari sudut matanya. Ayah Michelle mengerti alasan perlakuan putrinya itu, “Papa ngerti kalau kamu kecewa, tapi kamu ngga pernah tau kan apa yang udah papa dan mama kamu alami setelah...” “Dia bukan MAMA AKU!!” Potong Michelle. “Oke! Tante Regina!” Ucap ayahnya memperbaiki, “.. setelah kamu kabur dari rumah..” lanjutnya, “Tante Regina sangat sedih dan merasa bersalah. Dia menangis setiap hari. Dia yang meminta papa untuk terus mencari kamu. Bahkan dia tidak memperhatikan anaknya sendiri!! Amara mulai sakit-sakitan ketika memasuki 1 tahun karena tante Regina selalu stress memikirkan kamu! Dua bulan kemudian Amara meninggal!!!” Michelle terkejut, dia memandang ayahnya tak percaya. “Apa?!” Air mata ayah Michelle mulai menitik, “Iya Michelle, Amara meninggal dunia! Apa kamu tidak bisa melihat itu sebagai bukti kalau kami memang menginginkan kamu kembali? Papa mohon Michelle...” Michelle merasa bersalah. Semua pikiran buruknya selama masa pelarian, membuatnya penuh dengan kebencian pada wanita yang dia pikir adalah perusak kehidupannya. Dia tak menyangka kenyataan yang terjadi seperti ini. Jadi selama ini yang tersiksa bukan hanya dirinya, juga ayah dan ibu tirinya. “Michelle, Papa dan tante Regina benar-benar ingin kamu kembali. Apa kamu tidak bisa memaafkan kami?” Tanya ayah Michelle. “Pa..” Panggil Michelle pelan dalam isak tangisnya. “Iya sayang..” ucap ayahnya lembut. “Aku..” Michelle tercekik oleh kata-katanya sendiri, “Aku.. mau ketemu tante Regina...” Ayahnya tersenyum senang mendengar ucapan Michelle sambil mengelus rambut putrinya, “Benar sayang?” Michelle mengangguk, “Iya, Pa.. aku mau minta maaf untuk kepergian Amara, juga karena aku selalu memanggil dia tante..” Ayahnya mengecup dahinya, “Iya sayang, kita akan segera ketemu tante Regina...” Michelle tak menyangka ayahnya akan berkata seperti ini, “Maafin aku pa.. aku udah bikin papa susah..” “Ngga apa-apa sayang, yang penting sekarang kamu udah baik-baik aja. Itu yang terpenting!” Ucap ayah Michelle. Dan inilah kenyataan. Tak ada yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi dimasa depan. Michelle kembali kepada keluarganya. Dia mendapat sambutan hangat dari ibu tirinya, Regina. Ternyata ibu tirinya sangat penyayang seperti ibu kandungnya. Dia bahagia menjalani kehidupannya yang baru. Namun ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Dia tak sempat menemui Will ketika pulang dari rumah sakit, karena tanpa dia ketahui keluarga cowok bertubuh atletis itu membawanya keluar negeri untuk menjalani operasi patah tulang. Entah kapan dia bisa bertemu cowok itu secara hidup, tapi dia sudah merasa senang telah membantunya. *** “Michelle, ayo.. dagingnya udah masak nih..” Panggil Regina dari pekarangan rumah dengan senyum ramah yang tak pernah disadari Michelle. Michelle yang duduk diteras rumah mengangguk dan segera menghampiri ayah dan ibu tirinya. Mereka mengadakan pesta BBQ kecil-kecilan untuk menyambut kepulangan dirinya kerumah meskipun sudah lewat sebulan. Dia melangkah perlahan menuju perkarangan sambil memegangi perut sebelah kirinya yang maish nyeri. Regina menghampiri Michelle dan membantunya berjalan, “Hati-hati sayang.. Nanti lukanya berdarah lagi..” Michelle tersenyum, “Iya,Ma..” Regina memandang Michelle senang. Matanya mulai berkaca-kaca. “Mama kok nangis?” Tanya Michelle bingung. Regina tersenyum sambil menggeleng, “Mama ngga nangis sayang, mama Cuma senang karena kamu manggil ‘MAMA’” ucapnya terharu. Michelle merasa sangat bersalah telah melukai hati wanita yang sangat lembut ini. Dia duduk dikursi disebelah Regina. “Nahh.. ini dagingnya udah matang..” Ayah Michelle meletakkan sepiring besar daging-danging yang sudah dia panggang. “Wahh.. sausnya mana nih?” Tanya Regina heran. “Yahh.. masih dirumah, papa ambil dulu ya..” Ucap ayah Michelle. “Eh.. ngga usah pa, biar aku aja..” Ucap Michelle sambil berdiri perlahan. “Yakin sayang? Kamu kan masih sakit..” Ucap Regina cemas. “Ngga apa-apa ma.. aku ambil dulu ya..” Michelle melangkah menuju pintu masuk. Ketika itu sebuah mobil berhenti didepan jalan masuk rumah Michelle. Dia, Regina dan Ayahnya serentak memandang kearah mobil itu dengan tatapan penasaran. “Siapa ya?” Gumam Regina. Pintu penumpang mobil berwarna hitam itu terbuka, turun seorang cowok memakai sweater coklat. Cowok itu bermata indah dan wajah bercahaya. Dia memandang Michelle dengan senyum manisnya, “Michelle..” Michelle tak percaya dengan matanya sendiri, dia hanya bisa menatap cowok itu tanpa bergerak. Air matanya menetes tanpa dia sadari, “Will?” ucapnya pelan. Will melangkah cepat kearah Michelle. Dia memendang rindu yang sangat besar hingga tak mampu di bendungnya sendiri. Michelle melakukan hal yang sama. Beberapa saat kemudian dia sudah terbenam dalam pelukan Will. Air matanya tak bisa berhenti mengalir. Will memegang kedua pipi Michelle, matanya memperhatikan setiap sudut diwajah gadis itu. “Gue ngga percaya sekarang gue bener-bener nyentuh loe..” ibu jarinya menghapus air mata dipipi Michelle dengan lembut. Michelle memandang kedua bola mata Will, “Gue kira loe ngga inget sama gue..” “Ngga mungkin gue ngga inget sama orang yang sangat berarti dihidup gue.. Dan sekarang gue ngga mau ngelepasin orang itu lagi..” Jawab Will. Michelle tak bisa menahan air mata bahagia dimatanya. Will memeluknya erat hingga dia dapat mendengar denyut jantungnya. Regina dan ayah Michelle bahagia melihat Michelle tersenyum dalam airmatanya. Tak ada yang sangat indah kecuali melihat kebahagian Michelle.

0 komentar:

Page Fans